Sumber: Percikan Iman
Inilah salah satu tokoh Indonesia yang langka. Kok langka? Pasalnya nih, tokoh yang satu ini cukup kompleks. Seandainya masih hidup, pasti diajak omong apa aja nyambung. Diajak omong masalah agama, okey! Karena
HAMKA emang seorang ulama. Sastra? Oh…dia juga jagonya.
Bahkan masalah sosial budaya dan politik juga pernah digelutinya.
Tapi ada satu dari Buya HAMKA ini, yaitu keteguhannya memegang prinsip yang diyakini. Inilah yang bikin semua orang menyeganinya. Sikap independennya itu sungguh bukan hal yang baru bagi HAMKA. Pada jamam pemerintah Soekarno, HAMKA berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno. Otomatis fatwa itu bikin sang Presiden berang.
Gak berhenti di situ, HAMKA juga terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu itu. So, wajar aja kalau akhirnya dia dikirim ke penjara oleh Soekarno.
Bahkan majalah yang dibentuknya ”Panji Masyarat”, pernah dibredel Soekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul ”Demokrasi Kita” yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Bung Karno.
Namun dia tidak pernah menyimpan dendam pada Bung Karno. Buktinya, ketika Bung Karno wafat, HAMKA-lah yang menjadi imam saat sholat jenazahnya. Sikap yang berpedang pada prinsip dan hati ini tidak luput dari tempaan perjalanan hidupnya.
Simbol legitimasi umat
HAMKA dilahirkan di Maninjau, Sumatra Barat, 16 Februari 1908. Ayahnya bernama H Abdul Karim Amrullah, seorang tokoh gerakan Islam kaum muda Minangkabau. Setelah menunaikan ibadah haji, gelar religius itu disimpan di depan nama aslinya. Jadilah ia bernama HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah).
Sejak muda, HAMKA dikenal sebagai seorang pengelana. Bahkan ayahnya, memberi gelar Si Bujang Jauh. Pada usia 16 tahun ia merantau ke Jawa untuk menimba ilmu tentang gerakan Islam modern kepada HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhrudin. Saat itu, HAMKA mengikuti berbagai diskusi dan training pergerakan Islam di Abdi Dharmo Pakualaman, Yogyakarta.
Selain dikenal sebagai ulama kharismatik, Hamka juga dikenal sebagai pujangga termashur.
Sejak usia 17 tahun, ia sudah menulis roman berjudul Siti Rabiah. Aktivitas tulis menulis itu ditentang oleh keluarganya. Namun Hamka jalan terus untuk mencari jati dirinya dan berusaha keluar dari bayangan nama besar ayahnya.
Pada usia 30-an, ia tak langsung memilih menjadi ulama, meski ia sendiri termasuk muballig muda Muhammadiyah di kota Medan. Ia lebih suka bergelut di bidang jurnalistik. Bersama Abdullah Puar, pada tahun 1936 ia mendirikan majalah Pedoman Masyarakat di kota Medan. Di majalah inilah ia menulis tulisan bersambung yang di kemudian hari menjadi buku Tasawuf Modern yang terkenal itu. Meski tulisan itu syarat dengan nilai-nilai keislaman, ia tetap saja dikenal sebagai pujangga daripada ulama.
Pada 1950, ia mendapat kesempatan untuk melawat ke berbagai negara daratan Arab. Kesempatan ini dipergunakannya untuk bertemu dengan tokoh dan pengarang Mesir yang sudah lama dikenalnya. Sepulang dari lawatan itu, HAMKA menulis beberapa roman. Antara lain Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Sebelum menyelesaikan roman-roman di atas, ia telah membuat roman yang lainnya. Seperti Di Bawah Lindungan Ka”bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, dan Di Dalam Lembah Kehidupan.
Sejak perjanjian Roem-Royen 1949, ia pindah ke Jakarta dan memulai kariernya sebagai pegawai di Departemen Agama pada masa KH Abdul Wahid Hasyim. Waktu itu HAMKA sering memberikan kuliah di berbagai perguruan tinggi Islam di Tanah Air.
Sebagai seorang intelektual yang hidup pada jaman itu, Hamka pada tahun 1955 terlibat dalam dunia politik. Ia masuk Konstituante melalui partai Masyumi. Namun, perjalanan politiknya bisa dikatakan berakhir ketika Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Soekarno pada 1959. Setahun kemudian nasib serupa menimpa Masyumi, dibubarkan Soekarno.
Setelah itu Hamka kembali kepada dunianya, menulis. Kali ini ia hadir dengan majalah baru Panji Masyarakat yang sempat terkenal karena menerbitkan tulisan Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita.
Pada periode ini, tulisan Hamka yang mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar Mesir tahun 1958 ini sudah lebih banyak berupa kajian-kajian keIslaman yang mencakup seluruh bidang.
Setelah peristiwa 1965 dan berdirinya pemerintahan Orde Baru, Hamka secara total berperan sebagai ulama. Ia meninggalkan dunia politik dan sastra. Tulisan-tulisannya di Panji Masyarakat sudah merefleksikannya sebagai seorang ulama, dan ini bisa dibaca pada rubrik Dari Hati Ke Hati yang sangat bagus penuturannya. Keulamaan Hamka lebih menonjol lagi ketika dia menjadi ketua MUI pertama tahun 1975.
Hamka dikenal sebagai seorang moderat. Paling tidak bisa dilihat dari cara dia menyampaikan sesuatu yang selalu menempatkan hati dan pikiran dalam satu posisi yang sama berharganya. Tidak pernah dia mengeluarkan kata-kata keras, apalagi kasar dalam komunikasinya. Hal ini sudah ia tunjukkan dari sejak muda. Ia lebih suka memilih menulis roman atau cerpen dalam menyampaikan pesan-pesan moral Islam. Hamka yang bergelar Datuk In Domo ini mengakui bahwa memang dia menjadi lebih moderat ketika usianya bertambah.
“Ketika buku yang saya baca baru lima buah, saya cepat sekali menyimpulkan satu hal mengenai agama dan emosi, tapi ketika buku yang saya baca sudah lima puluh, saya menjadi lebih paham, dan tidak merasa perlu bersikap seperti itu,” katanya suatu ketika.
Hamka meninggalkan karya tulis segudang, diantaranya, yang dibukukan tercatat lebih kurang 118 buah, belum termasuk karangan-karangan panjang dan pendek yang dimuat di berbagai media massa. Tulisan-tulisannya meliputi banyak bidang kajian: politik, sejarah, budaya, ahlak, dan ilmu-ilmu keislaman.