Menegakkan keadilan

Oleh : Atik Fikri Ilyas

Suatu waktu Pemerintahan Khalifah Umar bin Khathab mengumumkan pembagian kain baju dari negara kepada seluruh kaum Muslimin. Pembagian ditetapkan harus adil dan sama rata. Tidak ada bedanya jatah untuk kepala negara, pejabat negara, atau rakyat biasa. Pembagian baju dinyatakan selesai.

Seluruh warga mendapatkan bagiannya sama rata, tak terkecuali Umar bin Khathab. Namun, sang kepala negara tampak memakai baju yang besar karena badannya besar. Dan, orang-orang mengetahuinya karena pembagian dilaksanakan secara terang-terangan. Ketika Umar berkhutbah memberi semangat kepada kaum Muslimin untuk berjihad dan menjelaskan keutamaannya dengan mengatakan ‘Dengarlah dan taatilah perkataanku ini …’ tak ada suara gemuruh mendukung khutbahnya.

Malah secara bergantian terdengar suara cukup nyaring, ‘Tidak ada perhatian dan tidak pula ketaatan. Tidak ada tentara yang maju dengan senjata-senjatanya di medan pertempuran!’ Umar terheran-heran mendapati suasana yang berbeda dari biasanya itu. Lalu ia bertanya, ‘Mengapa sikap kalian berubah?’

Kemudian seseorang berkata dengan nada tinggi, ‘Engkau mengambil kain sebagaimana yang kami ambil, tapi bagaimana kain itu pas bagimu sedangkan engkau laki-laki berbadan tinggi besar? Pasti ada sesuatu yang engkau khususkan untuk dirimu sendiri!’ Mendengar pernyataan itu, Umar lalu memanggil putranya, Abdullah bin Umar.

Putranya itu diminta menjadi saksi dan mengumumkan kepada khalayak apa yang sebenarnya terjadi. Abdullah bin Umar pun bersaksi bahwa ia memberikan bagiannya kepada ayahnya sehingga ayahnya dapat memakai pakaian yang menutup auratnya, sesuai dengan postur tubuhnya yang tinggi bersar. Orang yang berbicara lantang tadi pun duduk dan berkata, ‘Sekarang kami mendengar dan kami taat.’ Sikap ini kemudian diikuti oleh segenap hadirin.

Subhanallah, betapa indah hubungan antara kepala negara dan rakyatnya. Kepala negara merasa tidak harus dilebihkan dari rakyatnya dan bebas ditegur, direformasi oleh warganya. Dalam artian, kepala negara ingin dimiliki dan berbuat untuk rakyat. Begitu pula, sistem pemerintahannya memandang semua warga sama dalam hak dan kewajiban.

Itulah seharusnya sikap seorang kepala negara. Ia tidak takut memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingannya sendiri. Begitu pula keluarganya yang tidak menggunakan posisi itu untuk memperkaya diri.

Mungkin kehidupan bernegara seperti di atas sulit didapatkan saat ini, apalagi di negara kita, di mana korupsi, kolusi, dan nepotisme sudah membudaya di setiap lini pemerintahan. Namun, semua itu bukannya mustahil diubah atau direformasi. Segalanya tergantung pada keseriusan dan kegigihan kita bersama. Masalahnya kita mau atau tidak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *