Tahun 1922
Enam tahun sejak Revolusi dan kelaparan, juga perang yang menyiksa, tak banyak perubahan terjadi saat ini. Tahun-tahun yang sangat sulit. Papa meninggal saat Revolusi, banyak bangsawan yang dibunuh saat itu. Papa meninggal di tangga puri kami, ditembak oleh tentara Bolshevik. Dan Mama, walaupun tetap bertahan sampai sekarang, keadaannya sangat menyedihkan. Ia tinggal di kamar sepanjang hari, hanya menangis terus menerus dan mendekap foto Papa sambil berbicara sendiri mengenang masa lalu. Revolusi memakan banyak korban.
Suatu keajaiban bahwa kami bisa bertahan sampai sekarang. Suatu keajaiban, tentara Bolshevik tidak membunuh kami. Ayahku seorang count, count Ivan Tolstoy, seorang bangsawan Rusia. Saat Revolusi terjadi, saat Tsar Nicholas II menyerahkan mahkotanya, berakhir sudah dinasti Romanov yang berkuasa sejak 1613. Keadaan sangat kacau, pembunuh terhadap kaum bangsawan Rusia terjadi di mana-mana, dan aku harus menghadapinya, sebagai putri seorang bangsawan Rusia.
Pemerintahan sementara setelah Tsar turun takhta hanya berkuasa selama delapan bulan, dan pada bulan Oktober mereka digulingkan oleh Partai Bolshevik yang dipimpin Lenin. Banyak pangeran dan bangsawan melarikan diri ke luar negeri. Tapi aku memutuskan untuk tidak meninggalkan Rusia, meski sudah tidak ada lagi yang dipertahankan. Papa meninggal pada hari yang sama saat Tsar Nicholas II menyerahkan singgasananya. Mama benar-benar terguncang, puri kami sudah hancur, hanya sebagian kecil yang tersisa. Kami sudah tidak memiliki pelayan-pelayan, kuda-kuda, semuanya telah hancur.
Kasihan Mama, beliau benar-benar goyah, Mamaku yang rapuh, harus menghadapi kenyataan yang tidak bisa diatasinya. Beliau benar-benar tak ingin mengetahui apa-apa, bahkan saat Tsar Nicholas II dan keluarganya ditembak mati setahun kemudian, Mama tak tahu apa-apa, beliau benar-benar berubah, semakin tua dan kurus. Bangunan yang tersisa hanya sayap kanan dari puri kami, dan keadaannya tidak terlalu baik untuk menghadapi iklim Yaketerinburg, tapi itulah satu-satunya yang tersisa. Puri ini dulu demikian indah dan megah, walaupun lebih kecil dan sederhana jika dibandingkan dengan Istana Musim Salju. Angin dingin menerobos jendela-jendela yang kusennya sudah rapuh. Kami tak mempunyai biaya untuk memperbaikinya, yang penting sekarang adalah makanan dan kayu bakar.
Seminggu lalu, aku tahu dari orang-orang di jalan, saat aku membeli roti dengan uang penjualan barang-barang yang masih tersisa, bahwa Partai Komunis tengah berkuasa di bawah pimpinan Lenin, dan Rusia berganti nama menjadi Uni Soviet. Aku tak tahu pasti apa artinya, tapi yang kutahu adalah satu hal yang sangat mengerikan. Partai Komunis berkuasa, berarti semua milik negara dan agama dinyatakan tidak sah. Aku benar-benar ngeri.
Tahun 1922, sungguh aku benar-benar tak berani membayangkan masa depan. Kemarin malam aku mendengar suara batuk-batuk dari kamar Mama. Pagi ini, aku sengaja membuat sup jahe panas untuk Mama. Saat kubuka pintu kamar Mama, bau apak menyengat hidungku. Mama terbaring lemah di ranjangnya. “Mama…,” aku mendekati jendela dan kucoba membuka engselnya yang sudah seret. “Jangan dibuka, Ivanka,” Mama menggapai-gapai dan memanggilku dengan panggilan kesayanganku. “Tapi sinar matahari akan membuat Mama lebih sehat.” Mama tampak rapuh sekali. “Tidak, sayangku, mendekatlah…Mama sudah tidak tahan, Sayang…” suara Mama demikian lemah. Aku tersentak. Mama batuk lagi. Saat kugenggam tangannya, Mama terasa kurus, kecil dan telapak tangannya dingin sekali. Baru aku sadar, Mama sakit keras. “Mama, tenanglah, aku akan memanggil dokter, Mama. Mama akan sembuh.”
Mama menggeleng. “Jangan bodoh, Ivanka, Mama hanya ingin engkau mendekat, gadis tegar. Mama hanya ingin tidur, udara dingin sekali.” Aku menangis, tak ada uang membeli kayu bakar. Mama menutup matanya, tidur. Tapi aku merasa tangannya dalam genggamanku makin terasa dingin dan raut muka Mama semakin pucat. Aku terkejut. Tidakkk……. “Mama! Mama!” aku menggoyang-goyangkan tangan Mama, tapi Mama tak bergerak. Aku mulai berteriak-teriak dan mengguncang-guncangkan tubuh rapuh Mama. Aku mencoba bercakap-cakap dengan Mama, tapi akhirnya aku harus menerima. Mama sudah pergi, dengan semua penderitaannya. Sudah tidak ada lagi orang-orang yang kusayangi kini. Papa, Mama, semuanya sudah tidak ada. Sepanjang hari aku menangis, tapi aku sadar, aku harus mengurus pemakaman Mama. Aku benar-benar hancur dan bingung. Aku baru tujuh belas tahun.
Esok harinya Mama dimakamkan. Hanya segelintir orang yang datang. Sahabat-sahabat keluargaku dulu sudah tidak ada. Sepulang dari pemakaman, aku merasa benar-benar terempas. Udara sangat dingin dan sepanjang malam aku teringat masa lalu kami. Papa, Count Ivan yang sangat dihormati, sosok ayah yang hangat dan rela melakukan apa pun untuk melindungi istri dan putrinya. Mama, Olga Oliski yang cantik, lembut, anggun sekaligus rapuh, yang sangat mengagumi karya-karya Tchackovsky, adalah orang tua yang sangat baik dan mengagumkan.
Sekarang aku sendiri, tak mempunyai siapa-siapa. Thereshkova Ivanovna Tolstoy, sendiri di negeri ini. Tiba-tiba aku merasa asing dengan negeriku sendiri. Aku tak mengenal siapa-siapa lagi di sini. Mungkin masih ada satu atau dua teman Papa di St Petersburg, tapi aku tak yakin bisa ke sana. Aku putus asa sekali. Aku tak bisa membayangkan akan ke St Petersburg, walaupun dulu sebelum perang aku selalu berangan-angan ke sana, untuk mengunjungi sekolah balet Imperial, sekolah balet terkenal yang dulu pernah sebagai tempat belajar pebalet-pebalet dunia seperti Anna Pavlona dan Nijinsky. Tapi sekarang hal itu tidak mungkin. Aku tak mempunyai cukup uang, dan aku merasa teman-teman Papa pasti sudah mengungsi semua. Mungkin ke Paris, Swiss atau entahlah. Aku demikian bingung, aku tak bisa berpikir apa pun.
Esok harinya udara dingin kembali menerpa. Aku harus memutuskan, apa yang akan aku lakukan. Mama selalu memujiku sebagai gadis yang kuat dan tabah, tapi sekarang aku merasa pujian Mama salah besar. Aku ketakutan dan putus asa. Selama satu pekan penuh aku bertahan di dalam puri. Puri ini penuh kenangan. Kenangan pada Papa yang baik dan tampan, pada Mama yang lembut, kegembiraan masa kecilku, bahkan guru-guru privatku yang membosankan, kini semua terasa sangat indah dan lebih cepat membunuhku. Foto-foto Mama dan Papa yang tersisa, sorot mata Papa yang demikian tegar, ah, beliau berdua pasti membenciku karena bertindak bodoh seperti ini. Gadis yang tabah, kata-kata Mama terasa terngiang-ngiang dalam telingaku, aku menangis, tapi aku tahu, aku harus bertindak.
Aku harus berusaha, aku tak bisa mengecewakan Papa dan Mama, walau kini mereka berdua sudah tiada. Satu-satunya cara yang terlintas dalam pikiranku adalah pergi ke Uzbekistan. Ya, ke Uzbekistan. Aku ingat, Mama masih punya saudara jauh di Samarkand Uzbekistan. Satu-satunya saudara yang mungkin masih tersisa, setelah hampir semuanya terbunuh atau mengungsi. Perjalanan mungkin sangat panjang dan mahal, tapi aku akan berusaha untuk sampai ke sana. Aku menjual semua barang yang masih mungkin dijual, mengemasi sedikit pakaian yang tersisa dan menutup pintu puri tanpa menguncinya. Sudah tidak ada apa-apa lagi di sana. Perjalanan ke Uzbekistan menguras hampir semua uangku.
Aku sampai di Samarkand tengah hari. Kota ini tenang. Di jalan tampak penjual melon, membuat perutku berbunyi. Sudah beberapa hari aku kekurangan makanan, aku memang harus berhemat. Tak sulit menemukan rumah Paman Sergei. Dia tak ada, tapi istrinya, Bibi Tatiana langsung memelukku. “Kau sudah besar, Ivanka.” Aku terkejut, dia memanggilku dengan nama kesayanganku. Bibi Tatiana menanyakan kabar Mama dan Papa dan aku menceritakan semuanya. Tiba-tiba aku ingin menangis. Dan kemudian kami saling bertangisan. Mungkin karena melihat tubuhku yang lusuh, Bibi Tatiana menyuruhku mandi dan ia menyiapkan makanan. “Paman masih di masjid, Ivanka. Hari ini hari Jumat,” kata Bibi Tatiana sebelum aku menghilang di balik pintu. Aku tahu Paman Sergie seorang Muslim. Ia satu-satunya saudaraku yang Muslim.
Aku sendiri, seperti halnya Mama dan Papa adalah penganut Gereja Orthodoks Rusia. Selesai mandi, Bibi Tatiana sudah menungguku dengan roti gandum hitamnya. Saat itu Paman Sergie tiba dan mengucapkan salam. Ia tampak terkejut melihatku.
“Ivanka…,”serunya masih tampak terkejut. “Siapa dia, Ayah?” seorang anak laki-laki berusia kira-kira enam tahun berdiri di belakang Paman Sergei. “Dia sepupumu, Umar. Namanya Ivanka,” jawab Bibi Tatiana. “Sepupu?” Umar tampak lucu sekali. “Ya, Ivanka dulu tinggal di Yekaterinburg,” Bibi Tatiana menjawab lembut, dan menarik Paman Sergie ke dalam. Umar kecil memandangku dengan matanya yang lucu, dalam sekejap aku sudah menyukainya.
Paman Sergie bersedia menampungku. Aku merasa sangat beruntung dan lega. Keluarga ini sangat hangat. Tiap petang mereka melakukan salat berjamaah, dan Umar kecil setiap hari belajar di Madrasah Sher Dar di Registan Square. Aku tiap hari membantu Bibi Tatiana di dapur dan menyulam kain-kain sutra yang akan di jual lagi. Tiap pagi buta aku mendengar Bibi Tatiana mengaji, sangat indah dan terasa menenangkan.
Tapi tiap malam aku masih selalu mengingat Papa, Mama, dan puri kami yang hancur. Hampir tiap pagi aku mengantar Umar ke Sher Dar. Madrasah itu cantik sekali, dibangun pada abad ke-17 dan masih tampak indah. Sudah sebulan aku tinggal bersama keluarga Paman Sergei. Aku mulai tertarik pada agama mereka. Aku merasa ketenangan di rumah ini, kedamaian yang indah, atau entahlah, aku tak bisa mengutarakannya… Aku ingin mengenalnya. Tapi aku masih belum berani memulainya. Aku terlahir dan dibaptis sebagai penganut Gereja Orthodoks Rusia. Dua hari yang lalu, tentara komunis memasuki Samarkand. Saat itu aku baru pulang dari mengantar Umar ke Sher Dar. Aku mencopot topi buluku yang mahal, kenangan dari Mama, agar tidak kelihatan mencolok. Sore harinya kulihat Paman Sergei kelihatan agak sibuk dan Bibi Tatiana tampak cemas.
Aku semakin tertarik pada Islam, dan aku sudah tidak dapat menahannya lagi. Bibi Tatiana menjawab semua pertanyaanku, seolah-olah ia tahu aku akan menanyakan hal itu. Bibi Tatiana bukan semacam pastor, tapi ia menjawab semua pertanyaanku dengan memuaskan. Sepekan penuh aku bertanya tentang semua yang ingin kutanyakan. Tepat pada hari ulang tahunku yang kedelapan belas, aku memutuskan masuk Islam. Paman dan Bibi membawaku ke masjid terbesar di Samarkand dan aku mengucapkan syahadat di sana. Malamnya, Bibi memberiku dua potong kerudung yang indah dari Turki. Aku belajar salat dari Bibi Tatiana.
Kulihat kesibukan Paman Sergie makin meningkat. Ia kelihatan sangat tegang. Pagi yang cerah, di bulan April, berita itu sampai. Tentara komunis sudah menguasai kota. Semua orang harus masuk partai komunis. Berita yang sangat mencemaskan. Paman Sergei tidak pulang hari ini. Akhirnya mereka bertindak. Tentara komunis bergerak. Saat menjelang Subuh Paman Sergei datang. Mukanya pucat, dan dia tidak menyentuh kopi panas yang kubuatkan. “Komunis berkuasa, Sayang. Akan ada kehancuran,” katanya, sedih. Bibi Tatiana menangis dan aku terpaku. Setelah Subuh, kami mengaji lama sekali. Menjelang tengah hari, kota tampak ribut. Bibi Tatiana mengunci semua pintu dan jendela. Diktator Soviet menutup masjid-masjid dan mengubahnya menjadi penjara, suatu penghinaan yang sangat besar. Aku hanya bisa berdoa dalam kamar.
Keadaan semakin buruk. Aku teringat Revolusi, hampir tujuh tahun yang lalu, teringat malam saat Papa ditembak tentara Bolshevik, semuanya kacau. Saat aku keluar untuk membeli gandum, kulihat tentara-tentara komunis menyeret orang-orang tua dan anak-anak cacat ke dalam truk-truk mereka. Akan dibawa ke mana orang-orang tua dan anak-anak itu? Malam harinya aku baru tahu. Mereka diseret untuk dibunuh agar tidak menjadi beban negara. Aku menangis, walaupun aku tidak mengenal mereka, sungguh tidak manusiawi.
Kehidupan sangat sulit. Kebebasan kami sangat terbatas. Pemerintah melarang digunakannya pakaian dan bahasa lokal. Masjid-masjid tempat kami beribadah dulu, sekarang tampak lain, kami tak bisa lagi salat di sana. Aku berhasil menyembunyikan sebuah Al-Quran kecil. Tiap malam aku belajar mengaji pada Bibi Tatiana, tentu saja dengan suara yang sangat pelan dan penerangan yang sangat redup. Soviet telah membakar Al-Quran dan segala sesuatu yang bertulisan Arab. Suasana masih kacau. Gambar Lenin ditempel di mana-mana. Rakyat ketakutan dan kelaparan. Pembunuhan di mana-mana. Nyawa manusia demikian tidak berarti. Seorang serdadu tadi menarik kerudungku dan menendangku, lalu dengan bahasa Rusia berlogat rendahan dia berteriak bahwa busana lokal dilarang. Selama dua menit aku tak bergerak,. tulangku terasa ngilu dan dua butir telur, harta yang sangat berharga itu, kini hancur, meleleh di jalan.
Saat makan malam, Paman Sergei, entah dalam beberapa hari ini kelihatan jauh lebih tua dan letih. Dia tidak menyentuh makan malam yang sangat sederhana itu, lalu dengan menangis Paman Sergei bercerita bahwa imam masjid dibunuh tadi siang. Lalu dengan wajah yang tiba-tiba tampak sangat berbeda dengan sebelumnya ia mengatakan bahwa beberapa orang akan berjihad.
Selesai makan malam, Paman Sergie keluar lagi. Bibi Tatiana menangis saat mengantarkan Paman sampai di pintu. Tiga hari kemudian aku baru tahu mengapa bibi menangis. Seorang teman keluarga mengabarkan Paman Sergei syahid di tangan tentara Soviet, saat itu hari sudah malam sekali. Tapi kini bahkan Bibi Tatiana tidak menangis lagi. Ia tersenyum tipis, walau di matanya ada sebersit duka.
Hari-hari semakin sulit. Pembunuhan semakin banyak terjadi. Kami benar-benar kehilangan kebebasan. Kami mulai kelaparan, dan Umar terserang TBC. Tak ada dokter yang bisa dihubungi. Suatu malam, Bibi Tatiana mengajakku bicara. “Kau harus keluar dari sini, Sayang. Keadaan sudah semakin buruk. Tentara Soviet semakin kejam. Bibi akan menyiapkan segala sesuatunya.” Aku tertegun. Keluar dari Samarkand? Mengungsi? Tidak!! Aku tidak mau meninggalkan tanah ini. Aku tidak mau meninggalkan Rusia, aku tidak mau meninggalkan saudara-saudara sesama Muslimku yang menderita di sini. Tidak!! “Tidak,” jawabku, putus asa.
“Jangan bodoh, Ivanka. Tentara Soviet akan membunuhmu.” “Tapi siapa yang akan membela teman-teman. Siapa yang membela agama kita, Bi.” “Sayang, beberapa orang sedang menyusun kekuatan untuk melawan mereka. Berpikirlah yang jernih. Apa yang dapat kaulakukan di sini, dengan tubuh kurusmu, dengan segala keterbatasan kita. Keluarlah dari Samarkard, pergilah ke Inggris atau Prancis. Belajarlah di sana, belalah negerimu, agamamu, walau kau tak berada di negerimu. Kau masih bisa berjuang, Ivanka, masih bisa, karena itu keluarlah, Bibi yang akan mengurus semuanya.” Aku menangis. Aku tak sepenuhnya mengerti akan maksud Bibi. “Dengar, Ivanka sayang, kau tak akan pernah sendiri. Allah selalu bersamamu. Dan saudara-saudara sesama Muslim akan membantumu. Maafkan Bibi, kau tahu Bibi tak bisa ikut. Umar sakit keras dan Bibi tak bisa membawanya ke mana-mana. Jangan menangis, Ivanka sayang, suatu saat kau akan mengerti… ”
Bibi Tatiana menciumku dan kereta api berangkat. Aku meninggalkan Samarkand, meninggalkan Bibi Tatiana, Umar, Paman Sergei, meninggalkan Rusia, Papa, Mama, gunung-gunung yang tertutup salju, meninggalkan semua kenangan masa laluku. Aku berharap suatu saat akan kembali. Kereta api berjalan dengan kencang tanpa perasaan. Yang kuingat hanyalah kelebatan-kelebatan peristiwa yang menakutkan. Udara sangat dingin. Sekarang musim salju. Aku naik kapal yang sepertinya akan tenggelam. Aku takut sekali. Semuanya berjalan seperti mimpi. Saat itu usiaku baru delapan belas tahun lebih. Dua puluh lima tahun kemudian aku benar-benar mengerti maksud Bibi Tatiana.
Sampai di London aku ditampung oleh keluarga Ahmed dari Turki. Secarik kertas dari Bibi Tatiana sangat membantuku. Aku bersekolah lagi, dan aku merasa beruntung menguasai lima bahasa, sejarah dan ilmu pasti. Sekarang aku bersyukur, Mama memaksaku mengikuti apa-apa yang diajarkan guru privatku di Rusia dulu. Kemudian aku masuk Universitas Oxford. Di sana aku mengenal banyak orang yang akan sangat penting di kemudian hari, dan aku mulai membuka usaha dagang. Keluarga Ahmed sangat membantu.
Dengan ilmu yang kuperoleh dari bangku kuliah, dan teman-teman yang kukenal, aku mengembangkan usaha terus-menerus. Dengan uang yang kuperoleh, aku baru mengerti, maksud Bibi Tatiana. Berjuang, walaupun aku tidak berada di negeriku. Aku mulai mengirimkan dana secara teratur untuk saudara-saudara sesama Muslim di Rusia. Aku belum pernah kembali ke Rusia sejak aku meninggalkannya.
Sekarang dua puluh lima tahun berlalu. 1 September 1948. Perang dunia sudah usai, tiga tahun lalu, tapi keadaan saudara-saudara kami di Samarkand dan lain-lain tempat di Rusia masih belum cukup baik. Aku masih akan terus berjuang. Umar meninggal sebulan setelah aku pergi dari Rusia, dan dua pekan kemudian tentara Soviet menembak Bibi Tatiana. Sekarang aku akan terus bekerja, membantu saudara-saudaraku di Rusia, dan terus berdoa, semoga pemerintah komunis hancur. Perjuangan masih panjang, masih banyak ketidakadilan yang akan terjadi.