Umar bin Abdul Aziz dan putranya

Belum lagi tabi’in yang agung amirul mukminin Umar bin Abdul Aziz membersihkan tangannya dari mengebumikan jenazah khalifah sebelumnya Sulaiman bin Abdul Malik. Tiba-ti­ba beliau mendengar suara gemuruh tanah di sekitarnya, lalu beliau berkata: “Ada apa ini?” Mereka menjawab: “Ini adalah kendaraan-­kendaraan khilafah wahai amirul mukminin, telah dipersiapkan agar Anda sudi menaikinya. Beliau memandang dengan sebelah matanya dan berkata dengan terputus-putus karena lelahnya dan rasa kantuknya setelah semalam tidak tidur: “Apa urusanku dengan kendaran ini?! Jauhkanlah ia dariku, semoga Allah memberkahi kalian. Dekatkan saja bighal milikku, karena itu cukup bagiku.”

“Bukankah Anda tahu bahwa setiap umat itu memiliki orang yang mulia, dan orang mulia bagi Bani Umayyah adalah Umar bin Abdil Aziz, dan dia akan dibangkitkan pada hari kiamat menjadi umat yang satu. ” (Muhammad bin Ali bin Al-Husein)

Belum sempat beliau meluruskan posisi punggungnya di atas bighal, tiba-tiba datanglah kepala prajurit yang berjalan mengawal di depan beliau beserta beberapa pasukan yang berjalan berbaris di kanan dan kiri beliau, sedang di tangan mereka menggenggam tombak yang ber­kilau.

Khalifah berkata kepada kepala prajurit tersebut: “Aku tidak mem­butuhkan Anda dan juga mereka. Aku hanyalah orang biasa dari kaum muslimin, berjalan sebagaimana mereka berjalan. Kemudian beliau berjalan dan orang-orangpun berjalan hingga sampai ke masjid, lalu dikumandangkanlah adzan serta seruan “shalat jama’ah .. shalat jama’ah .. ” Lalu manusia, memenuhi setiap sisi di dalam masjid. Setelah manusia berkumpul, Umar bin Abdul Aziz naik mimbar dan berkhot­bah. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya lalu mengucapkan shalawat atas Nabi kemudian berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya aku telah mendapat musibah de­ngan urusan ini (yakni diangkatnya beliau sebagai khalifah), tanpa per­timbangan dariku, tanpa aku memintanya, tanpa musyawarah di an­tara kaum muslimin, maka aku lepaskan bai’at yang melilit leher kalian dariku .. lalu silahkan kalian memilih pemimpin lagi yang kalian ridhai.”

Maka manusia berteriak dengan satu suara: “Kami memilih Anda wahai amirul mukminin dan kami ridha kepada Anda. Kami serah­kan urusan kami dengan harapan keberuntungan dan keberkahan.” Ketika beliau melihat suara-suara mulai tenang dan hatipun mulai ter­tata, maka beliau bertahmid kepada Allah untuk kesekian kalinya dan mengucapkan shalawat atas Nabi Muhammad sebagai hamba dan utusan-Nya.

Beliau menganjurkan manusia untuk senantiasa bertakwa kepada Allah, zuhud di dunia, berharap kenikmatan akhirat serta mengingat­kan kepada mereka tentang kematian. Hingga sanggup melunakkan hati yang keras dan meneteskan air mata orang yang sadar akan do­sanya. Begitulah nasihat yang keluar dari hati akan sampai di hati orang yang mendengarnya ..

Beliau mengeraskan suara agar semua orang mendengarnya: “Wa­hai manusia, barangsiapa yang taat kepada Allah maka wajib untuk ditaati dan barangsiapa yang memerintahkan maksiat maka tiada ketaatan kepadanya siapapun dia. Wahai manusia, taatilah aku selagi aku mentaati Allah dalam memerintah kalian. Namun jika aku ber­maksiat kepada Allah, maka tiada kewajiban sedikitpun bagi kalian untuk mentaatiku.”

Selanjutnya beliau turun dari mimbar dan beranjak menuju ru­mahnya dan masuk ke dalam kamarnya. Beliau ingin sekali istirahat barang sejenak setelah menguras tenaganya karena banyaknya kesi­bukan pasca wafatnya khalifah sebelumnya.

Akan tetapi, belum lagi lurus punggungnya di tempat tidur, tiba-­tiba datanglah putera beliau yang bernama Abdul Malik -ketika itu dia berumur 17 tahun- dia berkata: Abdul Malik : “Apa yang ingin Anda 1akukan wahai amirul mukminin?”

Umar bin Abdul Aziz: “Wahai anakku, aku ingin memejamkan mata barang sejenak karena sudah tak ada lagi tenaga yang tersisa,”

Abdul Malik : “Apakah Anda akan tidur sebelum mengembalikan hak orang-orang yang dizhalimi wahai amirul mukminin?”

Umar bin Abdul Aziz : “Wahai anakku, aku telah begadang semala­man untuk mengurus pemakaman pamanmu Sulaiman, nanti jika telah datang waktu dhuhur aku akan shalat bersama manusia dan akan aku kembalikan hak orang-orang yang dizhalimi kepada pemiliknya, insya Allah.”

Abdul Malik : “Siapa yang menjamin bahwa Anda masih hidup hing­ga datang waktu dzuhur wahai amirul mukminin?”

Kata-kata ini telah menggugah semangat Umar, hilanglah rasa kan­tuknya, kembalilah semua kekuatan dan tekad pada jasadnya yang telah lelah, beliau berkata: “Mendekatlah engkau nak!” Lalu mende­katlah putera beliau kemudian beliau merangkul dan mencium ke­ningnya sembari berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menge­luarkan dari tulang sulbiku seorang anak yang dapat membantu melaksanakan agamaku.”

Kemudian beliau bangun dan memerintahkan untuk menyeru ke­pada manusia: “Barangsiapa yang merasa dizhalimi hendaklah se­gera melapor.”

Siapakah gerangan Abdul Malik itu? Orang-orang berkata tentang beliau ini: “Sesungguhnya dialah yang memberikan motivasi kepada ayahnya hingga menjadi seorang ahli ibadah dan dia pula yang mem­bimbing ayahnya menempuh jalan zuhud,” Maka marilah kita menel­usuri kisah pemuda yang shalih ini dari awalnya.

Umar bin Abdul Aziz memiliki 15 anak, tiga di antaranya adalah wanita. Mereka seluruhnya memiliki prestasi dalam hal takwa dan ­tingkat keshalihannya. Akan tetapi Abdul Malik bagaikan inti kalung di antara saudara-saudaranya, atau seperti bintang di tengah-tengah mereka. Beliau adalah seorang yang sopan, mahir dan cerdas, umur­nya masih muda namun akalnya begitu dewasa.

Beliau tumbuh dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sejak memasuki usia remaja. Beliau adalah orang yang paling mirip dengan Abdullah bin Umar di antara seluruh keturunan Al-Khathab. Khususnya dalam hal ketakwaan, rasa takutnya bermaksiat dan taqarrubnya kepada Allah dengan ketaatan.

Putera paman beliau yang bernama ‘Ashim bercerita: “Aku tiba di Damaskus dan menginap di rumah putera pamanku Abdul Malik yang ketika itu masih bujang. Kami shalat Isyak dan setelah itu masing-masing masuk ke kamar tidurnya. Lalu Abdul Malik men­dekati lampu dan memadamkannya. Kamipun telah merasa kantuk. Ketika itu aku bangun di tengah malam dan ternyata Abdul Malik tengah berdiri shalat dalam kegelapan; sedangkan ia membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Maka bagaimana pendapatmu jika Kami berikan kepada mereka kenikmatan hidup bertahun-tahun. Kemudian datang kepada mereka azab yang telah diancamkan kepada mereka, niscaya tidak berguna bagi mereka apa yang mereka selalu menikmatinya” (Asy-Syu’ara’: 205-207)

Kudengar dia mengulang-ulang ayat tersebut sembari menahan tangisnya dan akhirnya keluar pula air matanya yang tak mampu dia tahan. Setiap kali sampai di ayat tersebut dia mengulanginya sam­pai-sampai aku berkata dalam hati: “Tangisan itu bisa menyebabkan kematiannya. “Maka tatkala aku melihatnya aku mengatakan: “Laa ilaha illallah wal hamdulillah” seperti yang biasa diucapkan orang tatkala terjaga dari tidumya, dengan harapan agar ia menghentikan tangisnya begitu mendengar ada orang yang bangun. Tatkala dia mende­ngarku maka iapun diam dan aku tidak mendengar lagi isak tangis­nya.

Pemuda keturunan Umar ini berguru kepada ulama-ulama senior pada zamannya hingga begitu akrab dengan Kitabullah, mengambil bagian yang banyak dari hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam dan mendalami ilmu­-ilmu agama. Hingga pada gilirannya beliau masuk dalam kelompok pertama dari fuqaha’ penduduk Syam pada zamannya kendati masih muda belia.

Telah diriwayatkan bahwa Umar bin Abdul Aziz pernah mengum­pulkan para penghafal Kitabullah dan para fuqaha’ di Syam lalu ber­kata: “Sesungguhnya aku mengundang kalian untuk suatu urusan ke­zhaliman yang terjadi dalam keluargaku (yakni pada masa khalifah Sulaiman), bagaimana pendapat kalian?”

Mereka menjawab: “Wahai amirul mukminin, sesungguhnya hal itu bukanlah tanggung jawab Anda, dan dosanya ditanggung oleh orang yang merampas hak tersebut. “Namun jawaban tersebut belum bisa memuaskan hati Umar. Kemudian salah seorang di antara mereka yang tidak sependapat dengan pendapat tersebut berkata: “Undang­lah Abdul Malik wahai amirul mukminin, karena beliau layak untuk Anda undang karena ilmu” kefakihan dan kecerdasannya.” Tatkala putra Umar, yakni Abdul Malik masuk, amirul mukminin bertanya: “Bagaimana pendapatmu tentang harta yang diambil oleh anak-anak paman kita (Sulaiman) secara zhalim? Padahal orang-orang yang memiliki hak tersebut telah datang dan menuntutnya, sementara kita mengetahui hak mereka?”

Abdul Malik berkata: “Menurut hemat saya, hendaknya Anda mengembalikan barang tersebut kepada yang memiliki selagi Anda mengetahui urusannya, karena jika Anda tidak melakukannya maka Anda telah berserikat dengan orang yang mengambil hak dengan cara yang zhalim.” Menjadi teranglah hati Umar, menjadi tenanglah jiwa beliau dan hilanglah rasa gelisah yang menyelimuti hatinya.

Pemuda keturunan Umar ini lebih memilih hidup di bumi ribath ­(perbatasan untuk menjaga serangan musuh) dan menetap di salah satu desa yang dekat dengannya daripada tinggal di Syam. Beliau menuju kesana dan beliau tinggalkan Damaskus yang penuh dengan taman yang subur, pepohonan yang rindang dan sungai-sungai yang indah.

Ayahanda beliau -kendati telah mengetahui betul akan keshalihan dan ketakwaannya- masih merasa khawatir jika anaknya tergelincir oleh tipu daya syetan, amat mendambakan jika anaknya senantiasa menjadi pemuda yang tegar. Beliau selalu ingin mengetahui urusan­nya selagi mampu mengetahuinya. Beliau sama sekali tidak meremehkan urusan ini.

Maimun bin Mahran, menteri Umar bin Abdul Aziz sekaligus penasihat yang membantu beliau, bercerita: Aku menemui Umar bin Abdul Aziz sedangkan aku lihat beliau tengah menulis surat yang ditujukan untuk putera beliau Abdul Malik. Beliau bermaksud menasihati putranya, memberikan pengarahan, pe­ringatan dan kabar gembira. Di antara yang beliau tulis adalah: “Amma ba’du, sesungguhnya orang yang paling berhak untuk men­jaga dan memahami perkataanku adalah engkau. Dan sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala -alhamdulillah- telah mengaruniakan kebaikan kepada kita sejak kecil hingga sekarang. Maka ingatlah wahai anakku akan karunia Allah kepadamu dan juga kepada kedua orang tuamu. Jauhilah olehmu sifat takabur dan merasa besar, karena hal itu adalah perbuatan syetan, sedangkan syetan adalah musuh yang nyata bagi orang-orang yang beriman.”

“Ketahuilah, sesungguhnya aku mengirim surat ini untukmu bu­kan karena aku mendengar suatu berita tentangmu, aku tidak men­dengar berita tentangmu kecuali yang baik-baik. Hanya saja telah sampai kepadaku tentang kebanggaanmu terhadap dirimu. Sean­dainya rasa ujub ini muncul pada dirimu hingga menyebabkan aku tidak menyukainya, maka engkau akan melihat sesuatu yang tidak kau sukai dariku.”

Maimun berkata: “Kemudian Umar menoleh kepadaku dan berkata: “Wahai Maimun, sesungguhnya dalam pandangan mataku Abdul Malik begitu baik, namun aku khawatir jika kecintaanku kepadanya mengalahkan pengetahuanku terhadapnya, sehingga aku men­dapatkan diriku seperti orang tua yang buta, pura-pura tidak tahu terhadap kekurangan anaknya.

Maka datanglah kepadanya, selidikilah keadaannya dan lihatlah apakah engkau melihat tanda-tanda kesombongan dan kebanggaan pada dirinya? Karena dia masih terlalu muda, belum tentu aman dari tipu daya syetan.”

Maimun berkata: “Maka aku melakukan perjalanan menemui Abdul Malik hingga bertemu dengannya. Aku meminta ijin lalu masuk. Ter­nyata dia adalah seorang pemuda yang masih belia, pemuda yang ga­gah, tampan dan tawadhu’, dia duduk di atas alas dari rambut. Dia mendekat kepadaku kemudian berkata: Abdul Malik : “Aku telah mendengar ayah menyebut-nyebut kebaik­an Anda, saya berharap agar Allah memberikan manfaat karena Anda.”

Maimun : “Bagaimanakah keadaan Anda hari ini?” .

Abdul Malik : “Mendapatkan kebaikan dan nikmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hanya saja saya takut jika aku terpedaya oleh sikap husnudhan ayah kepadaku, padahal saya belum mencapai keutamaan sebagai­mana yang beliau duga. Aku khawatir jika kecintaan beliau ke­padaku telah mengalahkan pengetahuan beliau tentang diriku, sehingga hal itu menjadi bencana bagiku.”

Maimun: (Aku sungguh heran bagaimana keduanya bisa sepakat pemikirannya) “Beritahukanlah kepadaku, dari mana engkau men­cari nafkah?”

Abdul Malik: “Dari hasil bumi yang telah aku beli dari orang yang mendapatkan warisan dari ayahnya, aku membayarnya dengan uang yang tidak ada syubhat di dalamnya. Dengannya aku dapat mencukupi kebutuhanku,”

Maimun: “Apa yang kau makan setiap harinya?”

Abdul malik: “Sehari daging, sehari adas dan sehari makan cuka dan zaitun, dengan ini cukup untuk hidup.”

­Maimun: “Apakah engkau merasa bangga dengan keadaanmu?” Abdul Malik : “Begitulah pada awalnya, namun manakala ayah menasihatiku dan memberikan pengertian kepadaku dan mengingatkan akan kekuranganku, maka Allah memberikan manfaat kepadaku dengannya, semoga Allah membalas kebaikan ayah dengan balasan yang baik.”

Kemudian aku (Maimun) duduk-duduk beberapa saat sambil ber­bincang-bincang dengannya, maka aku tidak melihat pemuda yang lebih tampan, lebih berakal, lebih bagus adabnya darinya kendati masih sangat muda dan sedikit pengalamannya. Ketika waktu telah menjelang sore, seseorang mendatanginya dan berkata: “Semoga Allah menjadikan Anda sejahtera, kami telah me­ngosongkannya .. ” Dia terdiam, lalu aku bertanya: Maimun: “Apa maksud dia berkata “kami telah mengosongkannya?”

Abdul Malik : “Kolam mandi.”

Maimun: “Ada apa dengan kolam mandi itu?”

Abdul Malik : “Orang-orang mengosongkannya untukku.”

Maimun: “Sungguh engkau telah melakukan sesuatu yang besar, hingga aku mendengar berita ini.”

Abdul Malik: (Dengan rasa takut dan membaca istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) “Lalu berkata: dalam hal mana wahai paman?”

Maimun: “Apakah kolam tersebut milikmu?”

Abdul Malik: “Bukan!”

Maimun: “Lantas atas dasar apa kamu menyuruh manusia keluar darinya kemudian engkau memakainya? Seakan engkau ingin me­ngunggulkan dirimu di atas mereka dan engkau menjadikan ke­hormatanmu di atas kehormatan mereka? Engkau juga mengganggu pemilik kolam tersebut untuk memenuhi kebutuhan hariannya dan engkau membuat orang-orang kecewa karena harus pulang lantaran tak boleh masuk.”

Abdul Malik : “Tentang pemilik kolam, dia telah merelakan dan mem­berikan haknya kepadaku.”

Maimun: “Itulah pelayanan yang dengannya engkau dapat tercemari oleh takabur. Apa yang menghalangimu untuk masuk bersama manusia, sedangkan engkau seperti mereka juga?”

Abdul Malik : “Yang menghalangiku adalah, sebagian orang-orang mis­kin masuk kolam tanpa mengenakan penutup, maka aku tidak suka melihat aurat mereka. Dan aku tidak bisa pula memaksa mereka untuk mengenakan penutup karena mereka akan menganggap seakan saya menggunakan kekuasaan saya yang mana saya memohon kepada Allah agar membersihkan kami dari tendensi semacam itu. Maka berilah nasihat kepadaku semoga Anda mendapatkan rahmat dari Allah, sehingga saya bisa mengambil manfaatnya. Dan berilah masukan agar saya bisa memecahkan persoalan ini.”

Maimun : “Tunggulah sampai orang-orang keluar semua dari kolam di malam hari dan mereka telah kembali ke rumah masing-masing, kemudian barulah kamu masuk kolam.”

Abdul Malik : “Baik, aku janji tidak akan masuk ke dalamnya di siang hari setelah hari ini.” Kemudian dia diam sejenak seakan memikir­kan sesuatu. Lalu dia mengangkat kepalanya dan berkata: “Saya memohon kepada Anda agar tidak menyampaikan kabar ini kepada ayah, karena aku khawatir dia akan marah kepadaku. Aku takut jika sewaktu-waktu ajal tiba sedangkan beliau dalam keadaan tidak ridha kepadaku.”

Maimun berkata: “Jika amirul mukminin bertanya apakah aku me­lihat suatu kejanggalan pada dirimu, maka apakah engkau rela jika aku harus berdusta kepada beliau?” Dia menjawab: “Tentu saja tidak, na’udzu billah, akan tetapi Anda bisa berkata: “Aku memang melihat sesuatu darinya, lalu aku telah menasihatinya dan memberikan gam­baran kepadanya bahwa urusannya itu besar, kemudian dia mau mem­perbaiki dirinya.” Karena ayah tidak akan meminta Anda untuk mem­buka rahasia ini selagi Anda tidak menceritakan kepada beliau. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjaga beliau dari mengorek sesuatu yang menjadi rahasia.”

Maimun berkata: “Aku belum pernah melihat seorang anak dan orang tua semisal keduanya, semoga Allah merahmati keduanya.”

Semoga Allah meridhai khalifah rasyidin yang kelima Umar bin Abdul Aziz, semoga Allah memberikan kebahagiaan kepada beliau di kuburnya dan juga Abdul Malik putra dan jantung hatinya. Semoga keselamatan menyertai mereka di hari perjumpaan dengan Ar-Rafiiqul A’la, keselamatan menyertai keduanya di hari kebangkitan bersama orang-orang yang berbuat kebaikan.

Sumber: Shuwaru min Hayati At-Tabi’in

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *