eramuslim
Madinah Al-Munawarah, pada dini hari. Membran malam perlahan tersingkap, berganti dengan subuh syahdu. Lengang berpulun dengan udara dingin menggigit. Dan deru sahara hanya terdengar dari jauh. Cerlang fajar sebentar lagi nampak. Shalat subuh hampir tiba, Rasulullah Saw dan para sahabat menyemut pada satu tempat, masjid. Semua hendak bertemu dengan yang di cinta, Allah.
Shalat subuh pun berlangsung sendu, suara nabi mengalun begitu merdu. Ada banyak telinga yang terbuai, hati yang mendesis menahan rindu. Selesai memimpin shalat, nabi duduk menghadap para sahabat. Semua mata memandang pada satu titik yang sama, Purnama Madinah. Dan di sana, duduk sesosok cinta bersiap memberikan hikmah, seperti biasanya.
“Wahai manusia, Aku ingin bertanya, siapakah yang paling mempesona imannya?” Al-Musthafa memulai majelisnya dengan pertanyaan.
“Malaikat ya Rasul Allah” hampir semua menjawab.
Dan nabi memandang lekat wajah para sahabat satu persatu. Janggut para sahabat masih terlihat basah. “Bagaimana mungkin malaikat tidak beriman sedangkan mereka adalah pelaksana perintah Allah.”
“Para Nabi, ya Rasul Allah” jawab sahabat serentak.
“Dan bagaimana para Nabi tidak beriman jika wahyu dari langit langsung turun untuk mereka”.
“Kalau begitu, sahabat-sahabat engkau, wahai Rasulullah” pada saat menjawab ini banyak dari sahabat yang mengucapkannya malu-malu.
“Tentu saja para sahabat beriman kepada Allah karena mereka menyaksikan apa yang mereka saksikan”.
Selanjutnya mesjid hening. Semua bersiap dengan lanjutan sabda nabi yang mulia. Semua menunggu, sama seperti sebelumnya pesona sosok yang duduk ditengah-tengah mereka mampu menarik semua pandangan laksana magnet berkekuatan maha. Dan suara kekasih Allah itu kembali terdengar.
“Yang paling mempesona imannya adalah kaum yang datang jauh sesudah kalian. Mereka beriman kepadaku, meski tak pernah satu jeda mereka memandang aku. Mereka membenarkan aku sama seperti kalian, padahal tak sedetikpun mereka pernah melihat sosok ini. Mereka hanya menemukan tulisan, dan mereka tanpa ragu mengimaninya dengan mengamalkan perintah dalam tulisan itu. Mereka membelaku sama seperti kalian gigih berjuang demi aku. Alangkah inginnya aku berjumpa dengan para ikhwanku itu”.
Semua terpekur mendengar sabda tersebut. Kepada mereka nabi memanggil sapaan sahabat, sedang kepada kaum yang akan datang, nabi merinduinya dengan sebutan “Saudaraku”. Alangkah bahagia bisa dirindui nabi sedemikian indah, benak para sahabat terliputi hal ini.
Dan terakhir nabi, mengumandangkan QS Al Baqarah ayat 3: “Mereka yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, dan menginfakkan sebagian dari apa yang kami berikan kepada mereka”.
***
Memang, tiada yang lebih indah, dirindui nabi seperti demikian. Kang Jalaluddin Rakhmat menyebutkan, keistimewaan sebutan ‘saudara’ ini disebabkan beberapa hal.
Pertama: Para sahabat menyaksikan langsung sosok nabi Muhammad, menjumpainya dalam keseharian, menemaninya dalam setiap kesempatan. Para sahabat bertemu langsung dengan beliau, memperhatikan segala perilaku indahnya. Para sahabat beriman kepada Nabi secara lahir. Sedangkan para ikhwan (saudara) mempercayai Rasulullah setelah membaca dan mendengar perilaku beliau.
Kedua: Para sahabat mengenal nabi secara langsung, berada di depan mata. Para sahabat melihat mukjizat bukan dari cerita atau kisah. Para sahabat mengalaminya sendiri. Sedangkan para ikhwan mengenal nabi secara tidak langsung, hanya berdasarkan bukti-bukti yang rasional. Dan hal ini memerlukan pembelajaran yang tidak mudah, karena lebih abstrak. Dan fitrah manusia selalu mengedepankan hal-hal yang dilihat secara nyata. Selanjutnya kang Jalal menghimbau, Cintailah Rasululullah, maka ia akan menjadi pusat perhatian. Kapan saja ia diperbincangkan maka kita akan selalu semangat menyimak. Cintailah Rasulullah maka kita akan meniru perilakunya dengan hasil baik.
Dan yang lebih dahsyat lagi, cintailah Rasulullah maka beliau akan menganggap kita sebagai saudara (ikhwan) dan janji Allah dalam QS. Annisa: 69, seorang pencinta Rasul akan digabungkan dengan orang-orang yang memperoleh nikmat Allah yaitu Para nabi, para shidiqin, para syahid dan orang-orang shaleh.
***
Tak ada salahnya, apabila saat ini kami mengenang sosok yang hanya kami tahu ciri-cirinya dari sebuah buku. Mengapakah terlalu sering kami mengabaikan teladan sempurna ini. Bahkan, terlalu jauh kami terlontar dari sunnahnya. Padahal, engkau ya Rasul Allah, begitu memperhatikan kami, hingga kami disebut pada saat-saat terakhir kehidupanmu. Ketika maut menjemput, nafas satu-satu dan detik-detik penghabisan di dunia sebelum dengan anggun engkau dipanggil Allah. Meski demikian, perkenankan kami menyampaikan salam, salam cinta dan salam kerinduan. Salam bagimu ya Rasul Allah,
salam bagimu kekasih Allah yang mulia.
Betapapun buruk rupa jiwa ini,
Betapapun kerdil pikiran ini,
Betapapun kelu lidah ini berucap,
Ingin kami sampaikan kepadamu wahai nabi al-musthafa:
Shallaallaahu ala muhammad, shallalhu alaihi wasallam…
Salam bagimu ya Rasul Allah.