Memaafkan, Derajat Kemuliaan Diri

eramuslim – Kawan, ingatkah kisah saat Rasulullah menolak bantuan yang ditawarkan malaikat Jibril untuk menimpakan gunung kepada masyarakat Thaif yang telah menghina Rasulullah dan para sahabat? Kala itu, Rasul membalas perlakuan masyarakat Thaif dengan memaafkan mereka. Sebuah sikap bijak yang menjadi salah satu bukti betapa Rasulullah sangat pemaaf. Kisah lain yang menunjukkan kemuliaan Rasulul dalam hal memaafkan adalah saat beliau menjadi orang pertama yang menjenguk seorang Quraisy kala sakit, meski sebelumnya tak bosan-bosannya meludahi Rasulullah setiap hari. Sungguh Allah-lah yang mampu memelihara hati sedemikian suci, jiwa sebegitu besar.

Memaafkan, menjadi kata yang yang mudah diucapkan, namun teramat sulit untuk dilakukan. Saya pernah merasa tersakiti karena candaan yang dilontarkan seorang teman. Sakit hati yang menyebabkan saya sulit berkonsentrasi. Berhari-hari, bahkan berbilang minggu, rasa itu masih sulit hilang juga. Sepertinya kehidupan saya tidak berjalan sebagaimana mestinya karena saya berulang-ulang mengingat hal itu. Sulit sekali rasanya untuk memaafkan, meskipun memaafkan menjadi jalan untuk melupakan yang sudah terjadi, mengambil pelajaran dan hikmahnya, juga menjalankan kehidupan saya sebagaimana mestinya.

Andrew Matthews, penulis buku Being Happy, menuliskan bahwa dengan tidak memaafkan orang yang menyakiti kita, satu-satunya orang yang akan dirugikan adalah diri kita sendiri. Tidak memaafkan berarti akan menghancurkan hidup kita. Dengan memaafkan seseorang, bukan berarti kita menyetujui apa yang mereka lakukan, kita hanya menginginkan hidup kita berjalan terus. Hal yang sebenarnya sudah dicontohkan oleh Rasulullah Saw berabad-abad lalu. Dibalasnya orang yang meludahi beliau setiap hari dengan kunjungan dikala orang itu sakit. Sebuah kemuliaan sikap cerminan pribadi berjiwa besar.

Seorang dokter di Amerika, Gerald Jampolsky bahkan mendirikan sebuah pusat penyembuhan terkemuka dengan menggunakan satu metode tunggal, yaitu rela memaafkan. Upaya ini dilatarbelakangi pengetahuannya bahwa sebagian besar masalah yang kita hadapi dalam hidup bersumber dari ketidakmampuan kita untuk memaafkan orang lain.

Merenungi makna subhanallah, kita tahu bahwa hanya Allah Swt yang Maha Suci, sementara manusia adalah tempat salah dan alpa. Seorang bijak pernah berkata, kesempurnaan manusia adalah dengan ketidaksempurnaannya. Berkaitan dengan memaafkan, Allah Swt berfirman dalam Qur’an Surat Ali Imran ayat 134: “… dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang”. Dengan demikian, Allah Swt menyukai orang-orang yang menahan amarah dan memaafkan orang lain.

Memaafkan, bukan hanya merupakan sikap yang mulia sesuai dengan pesan Nabi Muhammad Saw, tapi juga baik bagi kesehatan dan memberikan ketenangan pada jiwa. Hidup kita mudah-mudahan akan berjalan dengan lebih baik karena kita tidak disibukkan dengan perasaan kecewa dan sakit hati atas perbuatan orang lain. Seperti yang dicontohkan Nabi, memaafkan seseorang tidak akan menurunkan derajat orang yang memaafkan di mata orang yang melakukan kesalahan. Memaafkan, baik bagi orang lain, terutama juga baik bagi diri sendiri.

Bila sedemikian pentingnya peran memaafkan ini, mengapa kita begitu sulit untuk memaafkan orang lain? Mudah-mudahan, kita diberi-Nya kelapangan hati untuk memaafkan orang lain.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *