Di lembah Makkah yang datar. Sepanjang hari matahari membakar. Pasir-pasir berbisik kepanansan. Fatamorgana meliuk-liuk perlahan. Disanalah, ditanah yang gersang itu, Nabi Ibrahim ‘alaihisalam baru saja meninggalkan istriny, Hajar, bersama bayi kecilnya Ismail. Ia harus pergi atas perintah Allah, meninggalkan keluarganya tercinta. Sebuah ujian yang tidak ringan.
Tetapi Ibrahim tidak lantas berkecil rasa. Justru saat itu ia memasrahkan keluarganya kepada Allah, Dzat Yang memeintahkan dirinya untuk beranjak. Ibrahim pun berdoa. “Ya Yuhan kaim, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman-tanaman, di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadkanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Ibrahim:37)
Ibrahim adalah kekasih Allah, tetapi doa dan permohonan Ibrahim untuk kebaikan anak istrinya bercerita tentang fakta lain. Bahwa siapapun sangat perlu kepada doa. Ibrahim bahkan harus berpanjang-panjang doa. Merangkum segala harap, tidak saja untuk istri dan anaknya, tetapi jga untuk kebaikan penduduk mekkah, untuk kebaikan anak cucunya, untuk kesinambunagn penghambaan kepada Allah Yang Esa. Ibrahim pun berkata, “Ya Tuhan kami, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.(QS. Ibrahim:40)
Para Rasul mulia bahkan terkenal dengan keseriusan mereka dalam meminta dan berdoa kepada Allah. Lihatlah Nabi Zakariya. Dalam usianya yang sudah senja, ia tak pernah putus berdoa agar diberi penyambung generasi dirinya. “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau ya Tuhanku. Dan sesungguhnya au khawatir terhadap mawaliku sepeninggalanku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera. Yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’kub dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai.” (QS. Maryam: 4-5)
Dengan tulus , khusyu dan penuh ketundukkan, Zakariya memohon dan berdoa kepada Allah. Akhirnya, Allah memberinya seorang anak yang belum pernah diciptakan sebelumnya. Anak itu bernama Yahya, yang kemudian menjadi nabi pilihan Allah.
Lihat pula sebelum itu, Nabi Ya’qub ditengah dukanya yang mendalam karena kehilangan anak tecintanya,Yusuf, ia tetap tulus berdoa seraya menegaskan, “Dan Allah sajalah yang dimohonan pertolongan-Nya.(QS. Yusuf:18). Lihat pula bagaimana Nabi Yusuf, ketika dikemudian hari jadi pembesar di kerajaan Mesir, ia tetap tulus berdoa, bahkan sebuah doa yang sangat penting artinya bagi akhir dari seluruh kebesarannya: Mohon diwafatkan sebagai muslim. “Ya Tuhanku, Sesungguhnya Engkau telah menganugerahkanku sebagian kerajaan dan telah mengajarkan daku sebagian ta’bir mimpi. (Ya Tuhan), pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shalih.” (QS. Yusuf: 101).
Demikian pula Rasulullah saw, menjelang perang Badar yang menegangkan. Ketika diketa¬huinya jumlah kaum musyrikin mencapai seribu orang. Rasulullah berdo’a begitu khidmat, meng¬hadap kiblat, menengadahkan tangan. “Ya Allah, tunaikanlahjanji-Mu untukku. Ya Allah, jika engkau kalahkan jumlah kami dari kaum muslimin ini, Engkau tidak akan disembah di bumi ini.” Rasulul¬lah terus berdo’a. Sampai-sampai selendangnya jatuh. Abu Bakar menyusulnya, mengambil selendang itu, lalu meletakkan kembali dipundak¬nya yang mulia, lalu menyemangati orang yang paling ia cintai itu, seraya berkata, “Wahai Rasululah, cukuplah permohonan engkau. Pasti, Allah akan memenuhi janjinya untuk engkau.” Rasulullah adalah hamba terbaik-Nya. Tetapi Rasulullah tetap berdo’a. Bahkan lebih dari do’a siapapun.
Ya. Setiap kita harus berdo’a. Karena kita diciptakan dalam keadaan yang penuh keterbatasan. Di balik segala kelebihan kemanusiaan kita, kita juga menyimpan bertumpuk kelemahan kemanusiaan pula. Di balik harum nama dan gelar kita, sejujurnya banyak borok yang mungkin tak seorangpun tahu, kecuali kita sendiri. Kita memang tidak sempurna, dan tidak akan sempurna. Karenanya, selamanya, kita perlu meminta kepada Allah, dalam do’a-do’a yang tulus, dalam kepasrahan yang penuh. Allah swt telah menegaskan, “Hai manusia kamulah yang memerlukan Allah, dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (QS. Faathir: 15).
Renungkan saat-saat kita menghadapi kesulitan. Kala tiba-tiba badan yang tegap menjadi lunglai. Ketika garis wajah yang indah menjadi tercerai berai. Ingatlah saat-saat guncangan menghempaskan kita. Merenggut orang-orang yang kita cintai, atau melenyapkan pernik-pernik kebutuhan hidup yang mungkin bertahun-tahun kita gali. Adakah kita bisa menolak? “Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.” (QS. Al-An’am: 17).
Setiap saat kita bergantung kepada Allah. Kita tidak pernah tahu apa kesudahan dari seluruh langkah-langkah hidup kita, dalam jangka pendek maupun panjang. Akankah kita sukes? Ataukah malah gaga!? Akankan kita menemui kesenangan? Ataukah tersandung segunung kepahitan? Akankan usaha kita lancar? Ataukah justru menga¬lami kebangkrutan? Yang kita lakukan hanya menata ikhtiar, sebaik mungkin. Kita memang harus yakin dengan tujuan, tetapi kita juga harus sadar, bahwa segala kesudahan itu tidak hanya bergantung kepada keyakinan.
Kita tidak bias memastikan tentang apa yang akan kita temui, bahkan untuk beberapa saat kemudian. Maka, kebergantungan kita kepada Allah, adalah bahasa lain dari keharusan kita untuk selalu berdo’a. Dengan berdo’a kepada Allah, kita telah mengadu kepada Dzat yang paling tulus menerima pengaduan. Allah, sangat Maha Kaya, Maha Pengasih, dan Maha Mendengar do’a hamba-Nya. Seorang mukmin tentu tak akan menyia-nyiakan kasih sayang Allah. “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muham¬mad) tentang Aku, maka (jawablah), bahwasannya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. AI-Bagarah:186).
Tidak ada kesimpulan yang lebih penting dari semua uraian di atas, melebih sebuah keyakinan, bahwa kita harus selalu berdo’a. Karenanya, di tengah hirup pikuk hidup yang keras, sejujurnya ada jenak-jenak sesaat, kala ketulusan hati kita bicara, tentang kebergantungan kita kepada Allah Yang Maha Perkasa. Saat kita dengan sadar mengakui kelemahan kita. Saat itulah, segerakan pengharapan. Segeralah berdo’a, kepada Allah Yang Maha Kuasa.
Dikutip dari Tarbawai edisi 32 thn 3