Syuraih bin Al-Harits Al-Kindi adalah seorang hakim yang adil dan bijaksana yang diangkat oleh khalifah Umar bin Khattab. Karena keadilan dan kebijaksanannya, beliau tetap dipercaya sebagai hakim oleh khalifah-khalifah setelahnya hingga Mu’awiyyah. Kisah ini menceritakan ketegasan dan keadilan yang ditunjukkan oleh Syuraih ketika menjadi hakim atas perkara yang dialami oleh khalifah Ali bin Abi Thalib.
Meskipun Syuraih memiliki hubungan yang sangat erat dengan khalifah Rasulullah Ali bin Abi Thalib, akan tetapi baginya pengadilan tetaplah pengadilan. Sebagaimana yang telah dia lakukan terhadap Umar khalifah sebelumnya, kini tiba giliran Ali yang berdiri di pengadilan.
Pada suatu hari Ali bin Abi Thalib kehilangan baju besinya yang sangat disukainya dan amat berharga baginya. Baju besi itu adalah hadiah dari Utsman bin Affan pada saat dia menikah dengan Fatimah binti Rasulullah. Tak lama kemudian, dia menemukannya berada di tangan orang kafir dzimmi ketika dia sedang berjalan di pasar Kufah.
Lalu ketika Ali melihat baju besinya berada di tangan laki-laki itu, dia berkata, “Ini adalah baju besiku yang jatuh dari ontaku pada malam terjadinya perang Shiffin, di suatu tempat.”
Lalu kafir Dzimmi itu berkata, “Ini adalah baju besiku dan sekarang ada di tanganku, wahai Amirul Mukminin.”
Maka Ali pun berkata, “Itu adalah baju besiku, aku belum pernah menjualnya kepada siapapun, juga tidak pernah memberikannya kepada siapa pun, hingga kemudian ia berada di tanganmu.”
Lalu orang kafir itu berkata, “Persoalan di antara kita ini akan diputuskan oleh seorang hakim dari kaum muslimin, Syuraih.”
Ali pun berkata, “Kamu benar, mari kita menemui Syuraih.”
Kemudian Ali dan laki-laki itu pergi menemui Syuraih Al-Qadhi, dan ketika mereka berdua telah berada di hadapannya, Syuraih berkata, “Apa yang ingin engkau katakan, wahai Amirul Mukminin?”
Ali menjawab, “Aku telah menemukan baju besiku ini berada di tangan laki-laki ini, baju besi itu telah terjatuh dariku pada malam terjadinya perang Shiffin dan di suatu tempat. Baju besi itu tidak pernah menjadi miliknya, tidak melalui jual beli dan tidak pula melalui hibah, karena aku tidak pernah menjualnya dan tidak pernah memberikannya kepada siapa pun”
Kemudian Syuraih beralih kepada orang kafir itu seraya bertanya, “Dan apa yang ingin engkau katakan, wahai orang laki-laki?”
Laki-laki itu menjawab, “Baju besi ini adalah milikku, tapi aku tidak menuduh Amirul Mukminin berdusta, aku berlindung kepada Allah dari hal tersebut.”
Maka Syuraih menoleh ke arah Ali dan berkata, “Aku tidak meragukan kejujuranmu terkait apa yang engkau katakan bahwa baju besi itu adalah milikmu, wahai Amirul Mukminin. Akan tetapi engkau harus mendatangkan dua orang saksi yang sebanding di hadapanku, dan keduanya akan bersaksi atas kebenaran apa yang engkau katakan tersebut
dan apa yang engkau tuduhkan kepada laki-laki ini.”
Ali berkata, “Baiklah! Putraku Al-Hasan dan maulaku Qanbar, mereka berdua akan bersaksi atas apa yang aku tuduhkan.”
Lalu Syuraih berkata, “Akan tetapi kesaksian anak untuk ayahnya itu tidak boleh, wahai Amirul Mukminin.”
Maka Ali menyanggah seraya berkata, “Subhanallah! Seorang laki-laki dari ahli surga seperti putraku Al-Hasan tidak diterima kesaksiannya!! Sedangkan Rasulullah telah bersabda tentangnya, ‘Al-Hasan dan Al-Husain adalah dua orang pemimpin bagi para pemuda ahli surga.'”
Lalu Syuraih berkata, “Benar, wahai Amirul Mukminin. Namun aku tidak menerima kesaksian anak untuk ayahnya.”
Ali pun diam sejenak, kemudian berkata kepada orang kafir itu, “Ambillah baju besi itu, karena aku tidak mempunyai saksi selain mereka berdua.”
Lalu kafir dzimmi itu berkata, “Akan tetapi aku bersaksi bahwa baju besi itu adalah milikmu, wahai Amirul Mukminin.”
Kemudian dia meneruskan perkataannya, “Ya Allah! Amirul Mukminin ini menggugatku di hadapan hakim yang diangkatnya sendiri, namun hakimnya malah memenangkan perkaraku terhadapnyal! Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”
Kafir dzimmi itu pun masuk Islam karena keadilan seorang hakim Islam dan kehadiran seorang khalifah Rasulullah di hadapan hakim, lalu hakim itu memenangkan perkaranya atas Amirul Mukminin.
Kemudian orang kafir dzimmi yang telah menjadi seorang muslim itu berkata, “Ketahuilah wahai Qadhi, sesungguhnya baju besi ini adalah milik Amirul Mukminin. Pada waktu itu aku mengikuti tentara yang sedang berangkat ke Shiffin (Suatu daerah di Siria, di sana terjadi peperangan besar lalu baju besi itu terjatuh dari untanya yang berwarna abu-abu, maka aku pun mengambilnya.”
Maka Ali berkata kepada laki-laki itu, “Karena engkau telah masuk Islam, maka aku menghibahkannya kepadamu, dan aku pun memberimu kuda ini sebagai hadiah dariku.”
Kemudian laki-laki itu berlalu pergi, dan Ali tidak pernah melihatnya lagi kecuali pada saat peristiwa perang Nahrawan yang terjadi antara dia dan Khawarij. Pada saat itu, laki-laki tersebut menjadi salah seorang prajurit berkuda yang berperang di barisan tentara Ali melawan orang-orang Khawarij. Laki-laki itu pun syahid pada peristiwa perang Nahrawan. Demikianlah keadilan Al-Qadhi dan keadilan Amirul Mukminin sebagai pembela Islam yang agung di antara permata-permata Islam yang dengannya ia mengungkapkan tentang syariat dan etikanya.
(Dikutip dari Kisah para Tabi’in oleh Syaikh Abdul Mun’im Al-Hasyimi)