Rasa takut kepada Allah SWT yang tertanam dalam diri setiap hamba adalah benih dari perjalanan sebuah proses keimanan, dimana pokok-pokok ibadah telah dijalankan dengan baik dan sempurna. Ada tiga pokok ibadah yang tidak boleh lepas apalagi ditinggalkan oleh manusia dalam pengabdiannya kepada Sang khalik. Hati selalu berzikir, lidah menyampaikan nasihat dan kebenaran dan tubuh sebagai pelaksana dari amal-amal shalih untuk mencapai keridhaan dan menghadirkan cinta-Nya.
Umar bin Khattab pernah jatuh pingsan karena takut kepada Allah ketika mendengar bacaan suatu ayat al-Quran. Pada suatu hari dia mengambil sebatang jerami kemudian berkata, “Aduhai, alangkah baiknya jika aku menjadi jerami dan tidak menjadi sesuatu yang disebut. Aduhai, alangkah baiknya jika dulu ibuku tidak melahirkanku.” Dia menangis terisak-isak sehingga air mata membasahi pipinya. Itulah yang menyebabkan ada garis bekas tetesan air mata pada wajah khalifah kedua tersebut.
Kita pun berharap semoga suatu saat nanti wajah-wajah pemimpin dan para wakil rakyat yang akan muncul adalah mereka yang lebih besar memiliki rasa takut kepada Allah. Negara besar dengan penduduk mayoritas Muslim ini jauh lebih dikenal dengan kehancuran moral dan akhlaknya, dibanding ketakwaan umatnya. Mereka yang saat ini sedang duduk dalam kepemimpinan masih jauh dari proses akhir sebuah keimanan yakni lebih mendahulukan Allah dan Rasul-Nya untuk kemudian mengangkat dan mensejahterakan umat sebagai bagian dari ikrar ketakwaan.
Nabi saw bersabda, “Allah SWT berfirman, “Pada hamba-Ku tidak berkumpul dua ketakutan dan dua rasa aman. Barang siapa yang takut kepada-Ku di dunia, Aku akan berikan keamanan kepadanya di akhirat. Sebaliknya, barangsiapa yang merasa aman kepada-Ku di dunia, Aku akan memberikan rasa takut kepadanya pada hari kiamat.” Tentang hal tersebut pun Allah SWT telah berfirman, “Karena itu, janganlah kamu takut kepada mereka, melainkan takut kepada-Ku, jika kamu benar-benar beriman,” (QS. Ali Imron:175)
Semestinya kita menyikapi berbagai persoalan bangsa dengan penuh rasa takut kepada Allah SWT, karena apa yang sekarang ini sedang terjadi tidak terlepas dari sumbangsih kita sebagai bagian dari bangsa ini. Lantas apakah kita telah kehilangan rasa takut kepada Rabb kita, dengan melakukan kesalahan berulang, menggantungkan harapan kepada orang-orang yang telah banyak menguras hasil negeri ini untuk kepentingan perut mereka semata?
Alangkah indahnya apabila bangsa ini dipimpin dan diwakili oleh mereka yang lebih sering menangis karena takutnya kepada Sang Pencipta, merendahkan kepala bersujud di sepertiga malam demi mengharapkan ampunan-Nya. Bukankah Nabi saw bersabda, “Tidak masuk Neraka orang yang menangis karena takut kepada Allah hingga air susu kembali pada payudara,” (HR. Tirmidzi).
Inilah bukti nyata ketaatan, dan tidak hanya dalam bentuk slogan atau pun retorika saja. Kita harus menyadari bahwa kualitas akhlak lebih utama, dibanding kita harus mengorbankan waktu panjang dalam perjalanan bangsa hanya untuk memberikan kesempatan bagi orang-orang tidak bermoral namun terbungkus oleh kebaikan palsu. Rasa takut kita kepada Allah SWT sudah seharusnya membuat kita cerdas dalam bertindak, bahwa apabila Allah tidak memberikan keridhaannya mengapa kita harus menggantungkan harapan kepada sekelompok atau segelintir orang yang tidak bermoral dan sama sekali tidak memiliki rasa takut terhadap Yang Maha Besar.
[Sabili No 13 Th. XI]