Si pembuat info yang tak benar di negeri ini, tampaknya tahu benar, bahwa masyarakat kita umumnya sangat mudah percaya isu. Apalagi, sebagian besar masyarakat kita, diakui, memang senang dengan yang namanya isu, gosip, desas-desus alias rumor, khususnya dari orang-orang terkenal. Karena itulah, stasiun-stasiun televisi kita berlomba-lomba menjual tayangan gosip melalui program infoteinmennya.

Karakter umum masyarakat kita sangat mudah percaya, tapi gampang pula tak percaya. Mereka yang fanatik dengan calon pemimpin tertentu, misalnya, tak kan percaya dengan berita negatif tentang sang calon tersebut. Sebaliknya, ketika seseorang mendengar kabar keburukan kandidat yang tak disukainya, dia langsung percaya, bahkan terkadang memberikan “bumbu-bumbu” untuk melengkapi kejelekan figur tersebut.

Betapa bahayanya jika kita sangat mudah percaya dan gampang pula tak percaya pada satu berita – terutama yang belum jelas kebenarannya – tanpa melakukan tabayyun (cek dan ricek) terlebih dahulu. Allah berfirman, ‘Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS Al-Hujurat: 6).

Sehubungan dengan ayat di atas, Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirya, bahwa Allah memerintahkan kepada kita: pertama, mengecek kabar yang berasal dari orang-orang fasik. Kedua, berhati-hati dalam menyikapi perkataan mereka, sehingga bisa diketahui apakah dusta atau salah. Ketiga, agar kita yang tak langsung memutuskan hanya lantaran mendengar berita itu. Keempat, bahwa Allah telah melarang kita untuk mengikuti jalan orang-orang yang berbuat kerusakan. Karena itu, menurut Ibnu Katsir, sebagian ulama menolak riwayat yang berasal dari orang yang tidak diketahui asal-usulnya (majhul al-haal).

Tentang sabab nuzulnya ayat di atas, Mujahid dan Qatadah meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw mengutus Walid bin Uqbah kepada Bani Musthaliq urntuk menarik zakat. Kaum dari Bani Musthaliq pun berkumpul untuk menyerahkan zakat. Tapi saat melihat kumpulan kaum itu, Walid justru kembali dan melaporkan kepada Rasulullah saw bahwa Bani Musthaliq berkumpul untuk memerangi beliau. Qatadah menambahkan, “Dan mereka telah murtad dari Islam.”

Rasulullah saw tidak buru-buru mempercayai berita itu. Beliau mengutus Khalid bin Walid dan memerintahkan untuk mengecek kebenaran kabar tersebut. Dan Khalid pun melihat sesuatu yang membuatnya takjub, yakni ketaatan mereka terhadap Islam. Khalid menemui Rasulullah saw dan memberitahukan hasil investigasinya. Maka Allah menurunkan ayat ini (QS al-Hujuraat 6). Qatadah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Mengecek (ketelitian) itu dari Allah, dan terburu-buru itu dari syetan.”

Ya, tidak teliti, tidak akurat dan terburu-buru, adalah sifat jelek kita umumnya, sebagaimana disebut dalam al-Quran. Dalam hal Ini, cermat dan akurat, teliti dan melakukan investigasi, serta cek dan ricek (tabayyun) saat mendengar berita penting, mutlak kita lakukan. Jika tidak, bisa jadi kita akan menimpakan suatu musibah kepada kaum yang diberitakan lantaran kita tidak mengetahui keadaan sebenarnya.

Menarik pula kita jadikan pelajaran, cerita Said bin ‘Amir aljumahy, yang diserahi jabatan sebagai Gubernur Himsh oleh Khalifah Umar. Suatu ketika Khalifah singgah ke Himsh. Di tengah-tengah rakyatnya khalifah bertanya, “Bagaimana penilaian Saudara-saudara terhadap kebijakan Gubernur Saudara-saudara?” Mereka menjawab, “Ada empat macam kelemahan yang hendak kami laporkan kepada khalifah.” Kemudian khalifah mempertemukan rakyat dengan gubernurnya. Setelah semua kumpul, khalifah membuka pertanyaan, “Bagaimana laporan Saudara-saudara tentang kebijakan Gubernur Saudara-saudara?”

Seorang jurubicara menjawab pertanyaan khalifah. Pertama, gubernur selalu tiba di kantor setelah matahari tinggi. Kedua, gubernur tidak bersedia melayani rakyat pada malam hari. Ketiga, gubernur tak masuk kantor sehari penuh dalam sebulan. Keempat, sewaktu-waktu gubernur menutup diri untuk bicara. Dalam kondisi seperti itu biasanya sang gubernur meninggalkan majelis (pertemuan).

Khalifah Umar menyilakan gubernur Sa’id untuk mengklarifikasi empat hal yang dianggap tak mengenakkan itu. Masalah pertama, kata Sa’id, “Sebetulnya saya keberatan menanggapinya, tapi apa boleh buat. Keluarga saya tidak mempunyai pembantu. Karenanya tiap pagi saya terpaksa turun tangan membuat adonan lebih dahulu. Sesudah adonan itu siap dimasak, barulah saya buat roti. Kemudian saya berwudhu. Setelah itu barulah saya berangkat ke tempat tugas untuk melayani masyarakat.”

Masalah kedua, “Sebenarnya saya juga berat menanggapinya, apalagi di depan umum seperti ini. Saya telah membagi waktu saya, siang hari untuk melayani masyarakat, malam hari untuk bertaqarub (mendekatkan diri) kepada Allah,” tutur Said.

Masalah ketiga, “Saya hanya memiliki sepasang pakaian yang melekat di badanku ini. Saya mencucinya sekali sebulan. Jadi, jika saya mencucinya, saya terpaksa menunggu kering lebih dahulu. Sesudah itu barulah saya dapat keluar melayani masyarakat.”

Masalah keempat, “Ketika saya masih musyrik dulu, saya pernah menyaksikan almarhum Khubaib bin ‘Ady dihukum mati oleh kaum kafir Quraisy. Saya menyaksikan mereka menyayat-nyayat tubuh Khubaib berkeping-keping. Pada waktu itu mereka bertanya mengejek Khubaib, ‘Sukakah engkau si Muhammad menggantikan engkau, kemudian engkau kami bebaskan?’ Khubaib menjawab ejekan mereka, ‘Saya tak ingin bersenang-senang dengan anak istri saya, sementara Muhammad tertusuk duri’,”

Said melanjutkan, “Demi Allah…! Jika saya teringat peristiwa itu, di saat mana saya membiarkan Khubaib tanpa membelanya sedikit pun, maka saya merasa, bahwa dosaku tak diampuni Allah.”

Khalifah Umar mengakhiri dialog itu dengan mengatakan, “Segala puji bagi Allah yang tidak mengecewakanku.” Sebelumnya Khalifah Umar memang yakin, Sa’id tak sejelek seperti yang dilaporkan. Khalifah Umar memberi contoh yang indah, bagaimana ia langsung mengklarifikasi yang dituduhkan kepada gubernurnya, langsung di hadapan rakyatnya.

Sekembalinya ke Madinah Khalifah Umar mengirim 1000 dinar untuk kebutuhan gubernurnya di Himsh. Tapi dalam sejarah tercatat, uang dari khalifah itu dibagikan Sa’id pada rakyat yang membutuhkannya.

Dua cerita di atas, semoga dapat kita jadikan sebagai renungan dan introspeksi kita, agar senantiasa melakukan tabayyun, cek dan ricek, jika mendapat kabar – apalagi berbau isu – terutama berita jelek yang menimpa orang (figur) atau lembaga yang selama ini kita kenal dengan baik. Wallahu a’lam bish shawab.

[Sabili No. 26 Th. XI]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *