Seharusnya seorang mukmin itu ibarat padi. Makin berisi makin merunduk. Malam itu Umar bin Abdul Aziz sedang berada di kediamannya. Khalifah kaum Muslimin yang keadilannya dikenal hingga kini itu, sedang menulis. Tiba-tiba terdengar pintu diketuk. Seorang tamu masuk dan berbincang dengan sang khalifah. Saat itulah lampu yang berada di atas meja Umar redup dan sepertinya kehabisan minyak.
Sang tamu buru-buru bangkit dari duduknya dan berkata, “Biar saya yang memperbaikinya.” Maksudnya, mengisi ulang minyak bakarnya.
“Menyuruh tamu, bukanlah perbuatan mulia,” ujar Umar.
“Kalau begitu, kubangunkan pembantumu!”
“Ia baru saja tidur,” jawab Umar. Ia pun segera bangkit dari duduknya dan mengisi minyak lampu.
“Engkau sendiri melakukannya, wahai Amirul Mukminin?” tanya sang tamu heran.
“Aku melakukannya atau tidak, tetap saja aku Umar. Tak ada yang berkurang dariku. Sebaik-baik orang adalah yang tawadhu di sisi Allah,” jawab Umar.
Penggalan kisah itu hanyalah salah satu episode dari kehidupan Umar bib Abdul Aziz. Selain dikenal adil, ia juga mengajarkan dan mempraktikkan sikap tawadhu. Seperti kisah di atas.
Bagi seorang Mukmin, sikap tawadhu menjadi modal merengkuh kesuksesan: dunia dan akhirat. Al-Qur’an banyak merekam nasib sosok-sosok sombong yang akhir hayatnya terjerumus pada kehinaan. Iblis adalah contoh konkret dari sosok yang memiliki sifat takabbur. Dengan sombongnya ia mengaku di hadapan Allah bahwa dia lebih baik dari Adam. Ia mengatakan bahwa api lebih baik daripada tanah. Dengah demikian, ia menganggap dirinya lebih mulia, dan akhirnya merendahkan orang lain. Sikap iblis inilah yang mengundang murka Allah dan akhirnya mengenyahkannya dari surga.
Dalam sejarah manusia, Fir’aun adalah sosok yang sangat sombong. Ia pernah memerintahkan teknokrat pribadinya, Haman, untuk membuat bangunan tinggi agar sampai ke pintu-pintu langit dan dapat melihat Tuhan Musa. Allah berfirman, “Dan berkatalah Fir’aun, ‘Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta,” (QS al-Mukmin: 36-37).
Tawadhu’ berarti menghargai orang lain. Sikap menghargai orang lain merupakan sifat terpuji. Kita menganggap bahwa orang lain lebih baik, lebih benar dan lebih mulia. Tentu, penghargaan dan pengagungan yang proporsional. Bukan taklid buta.
Rasulullah saw adalah orang yang sangat menghargai prestasi dan pendapat para sahabat dan pengikutnya. Menjelang Perang Badar, ia mengalahkan pendapatnya dan menerima ide Hubbab bin Mundzir untuk menentukan strategi perang. Pada Perang Uhud, ia menerima pendapat para sahabatnya yang ingin menyongsong lawan di medan perang, berlawanan dengan pendapatnya sendiri yang ingin menanti musuh di dalam kota. Usul Salman al-Farisi untuk menggali parit dalam Perang Khandaq, diterima dengan baik oleh Rasulullah saw. Dengan rendah hati Nabi saw menerima pendapat para sahabatnya.
Abdurahman bin Auf, seorang sahabat Rasulullah saw yang kaya sehingga para sejarawan menjulukinya dengan Si Tangan Emas, tak pernah membedakan dirinya dengan budak. Ketika ia sedang berada di tengah para sahayanya, orang-orang sulit membedakan, mana Abdurahman dan mana budaknya.
Sungguh, Allah sangat suka terhadap orang yang merendah di hadapan-Nya, sehingga diangkatlah derajat kemuliaannya ke tingkat yang sangat tinggi di hadapan semua makhluk. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk,” (QS al-Bayyinah: 7).
Sebaliknya betapa Allah sangat murka terhadap orang-orang yang menyombongkan diri di muka bumi. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,” (QS an-Nisa: 36). Surga pun mengharamkan dirinya untuk dimasuki oleh orang-orang yang di qalbunya terdapat kesombongan walau hanya sebesar debu. Rasulullah saw bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan, walaupun seberat biji sawi,” (HR Muslim).
Rahasia hidup sukses atau hina, tidak terlepas dari seberapa mampu seseorang menempatkan dirinya sendiri di hadapan Allah SWT. Tawadhu, inilah kunci bagi siapa saja yang ingin memiliki pribadi unggul.
Seseorang akan lebih cepat berhasil jika ia mempunyai sifat tawadhu. Kunci terpenting untuk sukses adalah kesanggupan menyerap ilmu dan kemampuan mendengar serta menimba ilmu dari orang lain. Hal ini akan membuat kita semakin cepat melesat dibandingkan dengan orang-orang sombong, merasa pandai sendiri, mengganggap cukup dengan ilmu yang dimilikinya. Biasanya, orang seperti ini akan merasa dirinya tak lagi membutuhkan pendapat, pandangan, dan visi orang lain.
Kita, makhluk serba terbatas. Bahkan, hanya untuk melihat kotoran di mata atau hidung sendiri, kita tak mampu. Kita membutuhkan cermin dan alat bantu agar bisa menguji semua yang kita miliki atau melengkapi yang belum kita miliki.
Kita harus menjadi orang yang “tamak” terhadap ilmu, serakah terhadap pengalaman dan wawasan. Setiap bertemu dengan orang lain, lihatlah kelebihannya, simaklah kemampuannya, ambillah ilmunya. Hal ini takkan menjadikan orang tersebut bangkrut dan tidak memiliki kelebihan lagi. Sebaliknya, kemampuan orang yang kita mintai ilmunya akan semakin berkembang.
Sikap tawadhu sangat erat kaitannya dengan sifat ikhlas. Rangkuman keikhlasan seorang hamba ada pada ketawadhuan. Orang yang tawadhu, menanamkan keikhlasan dan bersarang di hatinya. Karena, ketawadhu’an lebih berfungsi horisontal. Tawadhu’ banyak berhubungan dengan manusia secara sosial. Sedangkan ikhlas, lebih bersifat vertikal, langsung pada Allah.
Seseorang belum dikatakan tawadhu kecuali jika telah melenyapkan kesombongan yang ada dalam dirinya. Semakin kecil sifat kesombongan dalam diri seseorang, semakin sempurnalah ketawadhuannya. Allah berfirman, “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat-Ku, mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya,” (QS al-A’raaf: 146).
Tawadhu adalah salah satu akhlak mulia yang menggambarkan keagungan jiwa, kebersihan hati dan ketinggian derajat pemiliknya. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang bersikap tawadhu karena mencari ridha Allah maka Allah akan meninggikan derajatnya. Ia menganggap dirinya tiada berharga, namun dalam pandangan orang lain ia sangat terhormat. Barangsiapa yang menyombongkan diri maka Allah akan menghinakannya. Ia menganggap dirinya terhormat, padahal dalam pandangan orang lain ia sangat hina, bahkan lebih hina daripada anjing dan babi,” (HR al-Baihaqi).
Ironisnya, kini kesombongan menjadi “pakaian” yang dikenakan banyak orang. Suka membanggakan diri, merasa tinggi melebihi orang di sekitarnya, merasa orang lain membutuhkannya, suka memamerkan apa yang dimilikinya, dan tidak mau menyapa lebih dahulu menjadi fenomena yang mudah dilihat di mana-mana.
Hepi Andi [sabili]