Allahu Rabbana,
Tak pantas aku menjadi penghuni surga,
Namun tak juga kuat hamba dalam bara neraka,
Maka perkenankan jiwa meminta,
Ampunan atas khilaf dan nista
Sebab hanya Engkau, pengampun yang paling Maha
(Abu Nawas)
eramuslim – Adalah seorang perempuan datang menghadap Rasulullah dengan wajah menatap tanah. Masih dalam keadaan tertunduk, perlahan terdengar nafas beratnya keluar satu satu. Sebuah isyarat bahwa ia seperti tengah dihimpit bertubi masalah. Dia masih saja diam. Tak ada untaian kata-kata. Hening. Rasulullah menunggu. Manusia berparas indah dan mempesona ini seolah tahu, seorang perempuan datang ke hadapannya selalu dengan satu perlu. Dalam beberapa jeda, Rasululah membiarkan perempuan ini dalam diamnya, memberinya kesempatan untuk mempertimbangkan apa yang hendak disampaikan. Dalam kegundahan yang jelas terasa, berkata juga sang perempuan.
“Wahai manusia terbaik, dengan apa kubahasakan malu ini pada Allah Yang Maha Kuasa. Haruskah dengan isak yang menyesak? Dengan kata yang menyemesta? Dengan keluhan-keluhan panjang?”
“Apakah gerangan yang terjadi?” Rasulullah bertanya.
“Demi engkau yang dijaga dari segala khilaf, ingin kusampaikan bahwa aku telah melakukan sebuah dosa besar. Wahai Rasulullah, betapa malu kumenghadapkan diri kepada Allah. Betapa tersiksa, ketika hamba menengadah mengharapkan benderang Nya. Obati jiwa ini wahai kekasih Nya” perempuan ini mengucapkannya dengan gemetar. Kini isakannya perlahan terdengar. Rasulullah mendengarkan keluh perempuan dengan haru yang menyatu. Betapa perempuan ini malu kepada Allah Yang Maha Pengampun. Betapa perempuan ini tak mampu menengadahkan pinta kepada Allah Yang Maha Asih dan Maha Sayang. Hingga ia sekarang bersimpuh peluh di hadapannya untuk memohon penawarnya. Dari bibir manis Nabi yang Ummi terucap sebuah titah.
“Bertaubatlah kepada Allah, wahai perempuan yang melakukan dosa besar!”
“Hamba teramat ingin melakukannya, tapi bumi telah menjadi saksi semua dosa yang telah diperbuat, dan bukankah kelak bumi akan menjadi saksi di hari kiamat?” pedih perempuan ini sambil menangis.
“Bumi tidak akan menjadi saksimu” tukas Rasul Allah. Selanjutnya beliau melafalkan QS Ibrahim : 48 “Hari ketika bumi diganti dengan bumi yang lain..”. Perempuan itu masih saja terlihat sedih. Perkataan Nabi hanya singgah di telinga, tapi tidak di hatinya. Selanjutnya dengan kelu lidah perempuan ini berujar parau.
“Wahai kekasih Nya, Dari atas, langit juga telah menyaksikan dosa hamba, kelak ia akan menjadi saksi pula”. Mendengar ini, Rasulullah segera menjawab, berharap bahwa perempuan dihadapannya segera tenang dan tidak gelisah.
“Allah akan melipat langit. Bukankah Ia sendiri telah berfirman dalam surat Al-Anbiya 104, Hari ketika Kami menggulung langit bagai menggulung lembaran kitab ..”. Perempuan ini tersenyum mendengar tutur penyeru dari manusia paling indah. Betapa ia juga merasakan bahwa Rasulullah tengah meredakan kegundahannya. Namun, senyuman itu surut ketika tiba-tiba ia mengingat sesuatu. Ia pun berseru.
“Duhai Nabi, bukankah para malaikat pencatat segala amalan juga mencantumkan dosa besar itu dalam buku mereka. Bagaimana ini?” rintihnya putus asa.
“Allah telah berfirman, Sesungguhnya amal baik dapat menghilangkan amalan buruk (QS Hud :114)” Nabi melanjutkan “Orang yang bertaubat itu seperti orang tak lagi punya dosa”. Kali ini perempuan mengangguk-angguk lega, namun tak seberapa lama kepalanya menggeleng keras, ragu itu kembali menderas.
“Lalu bagaimana dengan firman Nya yang menyebutkan “Hari ketika lidah mereka, tangan mereka dan kaki mereka menjadi saksi terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan” (QS An-Nur 24) tutur perempuan kepada Nabi. Rasulullah kembali menjawab dengan suara yang fasih. Untaiannya begitu merdu meyakinkan perempuan yang bertanya.
“Allah telah berfirman kepada bumi, juga segenap anggota tubuhnya : “Tahan dirimu, jangan tunjukkan kepada orang yang diterima taubatnya, keburukan selama-lamanya”. Suasana hening. Udara menghantarkan ketenangan. Perempuan semakin tertunduk. Ada banyak gumpalan perasaan yang tak bernama. Allah Maha Pemurah. Terakhir perempuan ini berujar “Benar, wahai Rasulullah, itulah hak orang yang bertaubat. Tetapi gemetar karena malu di hari kiamat, dan rasa malu itu juga adalah dari Allah. Mungkinkah seorang hamba menanggungnya? Padahal engkau pernah bersabda ‘Sesungguhnya orang yang berdosa pada hari kiamat akan menyebut dosa-dosanya lalu malu kepada Allah. Keringat, dosanya, mengucur karena malu. Air keringat akan mengambang hingga menutup lututnya, ada sebagian yang menutup pusarnya dan ada pula yang hingga menutup kerongkongannya”. Tanpa menunggu Rasulullah pun bertutur.
“Maka wahai orang yang beriman, kenanglah hari itu, jangan pernah melalaikannya. Bertaubatlah kepada Allah, mendekatlah kepada Nya. Sesungguhnya Allah, Yang Maha Tinggi adalah Tuhan Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang”
Dan seketika perempuan ini menangis, air mata yang tak lagi sama seperti semula. Bening air mata yang tumpah bukan lagi karena gundah. Bening air mata yang terjelma bukan lagi karena lara. Bening itu karena gundahnya reda. Bening itu karena laranya sirna. Ia mematrikan setiap kuntum ucap dari sabda Nabi yang Mulia di kedalaman jiwa. Betapa Allah Maha penerima taubat. Betapa Allah Maha Welas atas semua hamba. Sepenuh bumi ia sudah melakukan dosa, sebanyak buih di laut ia pernah berbuat khilaf, serta seberserak pasir di pantai ia bernista maka hanya dengan taubat semuanya dapat tertebus. Dan dengan rahmat Nya yang agung, Allah merengkuh hamba yang kembali. Jua, karena cinta Nya yang paripurna, Allah akan segera menghampiri seorang anak manusia yang kembali pada Nya meski dengan tertatih ringkih.
***
Sahabat, dalam setiap detik yang berdetak. Dalam menit yang berhamburan tak kenal ampun. Juga dalam bilangan jam yang menukik tak terhentikan. Diamlah sejenak. Lihatlah di kedalaman jiwa. Tengok sebentar ujud hatimu. Adakah rupanya bersinar ataukah kau temukan ujud yang legam?. Dan pabila rupa yang kedua yang kau jumpai, maka seperti ucapan perempuan yang bersimpuh peluh di hadapan RasulNya tentang dosa-dosanya, kita juga perlu mengadospsi perkataannya sebagai manifestasi malu “Dengan apa kubahasakan malu ini pada Allah Yang Maha Kuasa. Haruskah dengan isak yang menyesak? Dengan kata yang menyemesta? Dengan keluhan-keluhan panjang?”
Tapi pernahkah kita malu dengan bebukit dosa yang diperbuat. Pernahkah merasa enggan bertemu Allah, karena malu atas segala salah yang tak akan luput dari pernglihatan Nya?. Malulah dari sekarang. Malulah dengan sebenar-benar malu, dengan sepenuh malu. Terlalu sering kita berada di sudut yang gelap karena keluar dari orbit benderang Nya. Terlalu mudah kita ingkari nikmat Nya yang agung, hingga kita benar-benar tidak tahu malu. Sekali lagi, Malulah kepada Tuhanmu.
Malu adalah sebagian dari iman, itu adalah sabda Rasulullah. Tapi malu yang seperti apa?. Dari Abdullah Ibn Mas’ud r.a, diriwayatkan bahwa Nabi bersabda “Orang yang malu kepada Allah dengan sepenuh malu adalah orang yang menjaga kepalanya dari isinya, menjaga perutnya dari segala rezeki tidak halal, selalu mengingat kematian, meninggalkan kemewahan dunia dan menjadikan perbuatan akhirat sebagai hal yang lebih utama. Sesiapa yang melakukan semua itu, maka ia telah malu kepada Allah dengan sepenuh malu”.
Dan, tahukah kalian apa yang Allah berikan sebagai imbalan kepada orang yang malu kepada Nya? Sebuah perlindungan tanpa tanding. Itu janji Nya.
*Garut, akhir juli. Untuk diri sendiri yang tidak tahu malu.
[eramuslim]