Teladan dari Dua Umar
Umar bin Abdul Aziz membersihkan kedua tangannya. la berdiri. Di depannya nampak makam Sulaiman bin Abdul Malik, khalifah Bani Umayyah sebelumnya. Berdasarkan wasiat al marhum, Umar bin Abdul Aziz menduduki jabatan khalifah. Baru saja Umar bangkit berdiri, tiba-tiba ia mendengar suara riuh. “Ada apa?”, tanya Khalifah kedelapan Bani Umayyah itu heran.
“Ini kendaraan Anda, wahai Amirul Mukminin,” ujar salah seorang sambil menunjuk sebuah kendaraan mewah yang khusus disiapkan untuk sang khalifah.
Dengan suara gemetar dan terbata bata karena kelelahan dan kurang tidur, Umar berkata, “Apa hubungannya denganku? Jauhkanlah kendaraan ini. Se¬moga Allah memberkahi kalian.” Lalu ia berjalan ke arah seekor keledai yang menjadi tunggangannya selama in!
Baru saja ia duduk di atas punggung hewan itu, serombongan pengawal datang berbaris mengawal di belakangnya. Di tangan masing masing tergenggam tombak tajam mengkilat. Mereka siap menjaga sang
khalifah dari marabahaya.
Melihat keberadaan pasukan itu, Umar menoleh heran dan berkata, “Aku tidak membutuhkan kalian. Aku hanyalah orang biasa dari kalangan kaum Muslimin. Aku berjalan pagi hari dan sore hari sama seperti rakyat biasa.”
Selanjutnya, Umar berjalan bersama o¬rang prang menuju masjid. Dari segala penjuru orang orang pun berdatangan. Ketika mereka sudah berkumpul, Umar bin Abdul Aziz berdiri. Setelah memuji Allah dan ber¬shalawat pada Nabi dan para sahabatnya, ia berkata, ‘Wahai manusia, sesungguhnya aku mendapat cobaan dengan urusan ini (khilafah) yang tanpa aku dimintai persetujuan terlebih dulu, memintanya atau pun ber¬musyawarah dulu dengan kaum Muslimin. Sesungguhnya, aku telah melepaskan baiat yang ada di pundak kalian untukku. Untuk selanjutnya silakan pilih dari kalangan kalian sendiri seorang khalifah yang kalian ridhai.’
Mendengar ucapannya itu, orang orang pun berteriak dengan satu suara, “Kami telah memilihmu, wahai Amirul Mukminin. Kami ridha terhadapmu. Aturlah urusan kami dengan karunia dan berkah Allah.’
Banyak hal yang bisa kita teladani dari sikap hidup Umar bin Abdul Aziz. Selain sikap zuhud dan kesederhanaan, kita juga belajar wara’ (menjauhi syubhat). Kisah dirinya ketika memadamkan lampu minyak saat menerima kedatangan anaknya, diabadikan oleh sejarah. la tak mau menggunakan fasilitas negara untuk keperluan pribadi atau keluarga.
Kits bandingkan dengan sikap pemimpin saat ini. Sulit membedakan mana harta mereka pribadi dan mana milik pemerintah. Berapa banyak para pejabat yang tetap menggunakan fasilitas negara saat kampanye yang nota bene untuk kepentingan sendiri.
Begitu pun setelah mereka berkuasa. Bahkan, mereka yang selama ini dikenal dekat dengan rakyat menjadi jauh. Akibatnya, mereka sendiri merasa tidak aman. Kemana pun pergi selalu dijaga ketat oleh para pengawal.
Kenyataan ini akan sangat bertolak belakang jika kita tengok jauh lagi ke belakang. Pada akhir abad 17 Hijriyah, misalnya. Saat itu kaum Muslimin sebenarnya sedang menikmati kemenangan pasukan mereka di Irak dan Syam. Namun di tengah kegembiraan itu, mereka dikejutkan oleh datangnya musim kemarau berkepanjangan. Selama sembilan bulan hujan tak turun. Bumi gersang dan penuh debu. Hewan dan tanaman menjadi korban.
Kondisi Madinah tak terlalu buruk. Di bawah pemerintahan Umar bin Khaththab, Khalifah Kedua setelah Rasulullah saw wafat, penduduk Madinah dibiasakan menyimpan makanan. Akibatnya, dari berbagai daerah masyarakat datang berbondong bondong, mengungsi di kota Nabi itu. Selama beberapa saat Madinah bisa bertahan. Tapi lama kelamaan penduduknya makin tertekan. Mereka mulai kekurangan bahan makanan. Lalu apa yang dilakukan Umar bin Khaththab kala itu?
Ketika kelaparan mencapai puncaknya, Umar pernah disuguhi remukan roti yang dicampur samin. Umar memanggil seorang Badui dan mengajaknya makan bersama. Umar tidak menyuapkan makanan ke mulutnya sebelum Badui itu melakukannya lebih dahulu. Orang Badui sepertinya benar benar menikmati makanan itu. “Agaknya, Anda tak pernah mengenyam lemak?” tanya Umar.
“Benar,” kata Badui itu. “Saya tak pernah makan dengan samin atau minyak zaitun. Saya juga sudah lama tidak menyaksikan orang orang memakannya sampai sekarang,” tambahnya.
Mendengar kata kata sang Badui, Umar bersumpah tidak akan memakan lemak sampai semua orang hidup seperti biasa. Ucapannya benar benar dibuktikan. Kata-katanya diabadikan sampai saat ini, “Kalau rakyatku kelaparan, aku ingin orang pertama yang merasakannya. Kalau rakyatku kekenyangan, aku ingin orang terakhir yang menikmatinya,” ujar Umar.
Padahal, saat itu Umar bisa saja menggunakan fasilitas negara. Kekayaan Irak dan Syam sudah berada di tangan kaum Muslimin. Tapi tidak. Umar lebih memilih makan bersama rakyatnya.
Kita diberikan pelajaran sangat berharga oleh dua Umar. Dengan meneladani kehidupan dua khafrfah itu, para pemimpin akan merasakan penderitaan rakyat. Perasaan inilah yang akan melipatgandakan perjuangannya. Bagaimana mungkin seorang pemimpin akan bisa berjuang kalau ia sendiri tak merasakan apa yang dirasakan rakyatnya. Sikap zuhud dan kedekatan dengan rakyat ini akan menenteramkan masyarakat. Kedekatan pada rakyat akan melahirkan kecintaan. Bayangkan dengan diri Rasulullah saw. Bagaimana mungkin rakyat tidak dekat dengannya kalau menjelang ajal pun beliau masih menyebut nyebut, “Ummati, ummati, ummati (umatku, umatku, umatku).” Kepedulian Rasulullah saw pada umatnya nyaris tak berbalas.
Kecintaan inilah yang akan menciptakan rasa aman. Kedekatan dengan rakyat berbanding lurus dengan tingkat kenyamanan seorang pemimpin. Semakin dekat dirinya dengan rakyat, semakin tinggi juga tingkat rasa aman dirinya. Inilah yang menjelaskan mengapa kedua Umar, baik Umar bin Abdul Aziz maupun Umar bin Khaththab tak pernah mau dikawal. Mereka tak memerlukan pengawal karena merasa dirinya aman. Mereka terbiasa berkeliling di tengah gelapnya malam. Mereka juga biasa tidur tiduran di tempat umum. Tak ada rasa takut dan khawatir dalam diri mereka. Penyebabnya: mereka berlaku adil, bersih, dekat dengan rakyat, maka rakyat pun mencintainya.
[Sabili]