Penjara, Bukan Akhir Segalanya
Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan manusia dengan fitrah bebas merdeka. Dengan fitrah itu manusia ingin bebas bepergian kemana pun ia kehendaki. Bahkan jika mampu, ia akan pergi menembus langit, berkelana dari satu galaksi ke galaksi lainnya.
Karena itu tak ada manusia yang senang dibatasi ruang geraknya. Apalagi jika sampai harus dipenjara. Jika ada peluang untuk menghindar, tentu akan orang tempuh sekuat tenaga, baik melalui jalur hukum maupun dengan cara melarikan diri. Sebab dengan dipenjara, kemerdekaan seseorang untuk bepergian menjadi lenyap.
Penjara memang sebuah tempat yang tidak menyenangkan. Orang yang dipenjara akan terkungkung dalam sebuah tempat sempit, pengap, kotor dan jorok. Teman sekamarnya adalah para narapidana yan—biasanya—sangar, garang dan kejam.
Stress dan terbelenggu, adalah keluhan yang biasa terdengar dari balik penjara. Bagi sebagian orang, perasaan stres itu lama-kelamaan bisa berkembang menjadi rasa frustrasi dan putus asa. Sehingga ada yang berujung pada tindakan bunuh diri.
Namun tidak semua orang bersikap demikian. Ada pula orang-orang berjiwa besar yang tegar menghadapi hukuman penjara. Bagi mereka, meski badan terpenjara, tapi jiwa mereka tetap bebas merdeka.
Orang-orang yang berpikiran seperti ini memang berbeda dengan narapidana biasa. Mereka dipenjara bukan karena berbuat kriminal, tetapi karena kuatnya memegang prinsip dan
keimanan. Orang-orang semacam ini justru ada yang sengaja minta dipenjara, daripada mengkhianati prinsip yang dipegangnya. Hal itu, misalnya, dilakukan oleh Nabi Yusuf ‘alaihis-salam, yang memilih dibui daripada harus memenuhi ajakan syahwat majikan perempuannya.
Ketuguhan Nabi Yusuf itu kemudian diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur`an Surat Yusuf ayat 33: Yusuf berkata, “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan aku dari tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung (untuk memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.”
Bagi orang semacam Nabi Yusuf, penjara bukan akhir dari segalanya. Dan memang, tempat yang sempit ini sesungguhnya masih memberi peluang besar untuk berekspresi seluas-luasnya. Ketatnya penjagaan dan pengapnya ruangan terkadang justru menyuburkan kreativitas.
Bagi seorang penulis yang tawakkal kepada Allah, tembok penjara justru melahirkan karya-karya besar. Tubuhnya di penjara, namun ide dan gagasannya tersebar luas ke seantero dunia. Tanpa sekat.
(Bahrul Ulum, Hidayatullah)