Perlawanan Mujahid Nusantara (1/3)

Amat panjang perlawanan yang dilakukan para mujahid di Nusantara dengan Islam sebagai satu-satunya spirit perlawanan. Meski pada awalnya penyebaran Islam lebih pada upaya perbaikan akhlak, pada perkembangannya, Al Quran sebagai way of life telah menginspirasi kaum Muslimin untuk melakukan perubahan-perubahan mendasar dalam sistem pemerintahan kerajaan kala itu. Betapa banyak kita tahu pemerintahan kerajaan yang menerapkan Islam sebagai landasan pemerintahannya.

Sebut saja Kerajaan Samudera Pasai. Di waktu Kerajaan Majapahit mulai tumbuh, Kerajaan Hindu Jawa yang terakhir kemegahannya, dan sebagai penganut agama persatuan Syiwa/Budha, maka di Samudera Pasai, di Sumatera sebelah utara (Aceh) telah mulai pula timbul kerajaan Islam yang pertama di Nusantara. Kartarajasa adalah Maharaja Majapahit yang pertama (1292-1309) dan pada tahun 1297 M terdapat pula Raja Islam yang pertama di Pasai, al-Malik as-Saleh.

Pada perkembangan Islam di Jawa, Masjid Demak menjadi simbol kejayaan Islam yang begitu penting untuk orang Jawa abad XVII, XVIII, dan XIX. Dalam catatan De Graaf dan TH. Pigeaud, Masjid Demak telah menjadi kerajaan Islam pertama di Jawa Tengah. Menurut cerita tradisi yang tampaknya dapat dipercaya, kota yang kemudian dikenal sebagai ibukota kerajaan Demak itu didirikan pada paruh dua abad XV. Kota ini cepat menjadi pusat perdagangan dan lalu lintas, juga pusat ibadah. Politik ekspansi raja-raja Demak dalam masa kejayaannya telah jauh masuk ke Jawa Barat, Tengah, dan Timur. Hal itu selalu dibarengi dengan dakwah Islam. Hal itu selalu dibarengi dengan dakwah Islam, sebab semangat ke-Islaman raja-raja dan pengikut mereka sedang berkobar-kobar.

Sementara itu Prof. Dr. Hamka menguraikan dalam Sejarah Umat Islam bahwa meski kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa Tengah baru berdiri dengan jelas pada tahun 1518, dengan naiknya Raden Patah menjadi Sultan Demak yang pertama, namun 5 abad sebelum itu sudah ada juga orang Islam di tanah Jawa. Maulana Malik Ibrahim yang wafat di Gresik pada tahun 1419 boleh disebut sebagai tunas pertama dari pohon besar Kerajaan Islam Demak yang akan berdiri.

Dalam sejarah, kita mengetahui betapa banyak pahlawan-pahlawan nasional yang kita kenal, nyatanya adalah para mujahid yang berperang membela kehormatan agama. Fatahillah dalam berita Portugis disebut sebagai Tagaril. Sebutan ini bermaksud “fahrillah” yang berarti kemenangan dari Allah. Ini berkaitan dengan kemenangan Fatahillah merebut Sunda Kelapa dari tangan Portugis pada 22 Juni 1527. Selanjutnya untuk memperingatinya diubahlah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang berarti “kemenangan yang gemilang” atau kerap disebut “fat-han mubina” dengan Fatahillah sebagai kepala negaranya (Suryanegara, 1995). Tak salah kiranya menggunakan simbol-simbol ke-Islaman yang kental, karena menurut catatan Prof. Ismail Jakub, Ahmad Fatahillah (Faletehan) adalah seorang mubaligh yang berasal dari Samudera Pasai. Ketika Pasai jatuh ia berangkat ke Jawa bersama beberapa kawannya. Fatahillah pernah menetap di Makkah selama beberapa tahun lamanya. Di Jawa ia dihormati. Oleh Sultan Demak (Pangeran Trenggono) ia dikawinkan dengan adik perempuannya.

Tak kurang, kehadiran Portugis di Malaka juga acap mendapat serangan dari raja-raja kala itu. Prof. H. Ismail Jakub dalam Sejarah Islam di Indonesia turut mencatat bahwa raja Aceh dari Banda Darussalam selalu berusaha mengusir Portugis, terutama semasa Iskandar Muda (1607-1636) yang gagah perkasa, gempuran terhadap Portugis dilakukan dengan hebat. Misalnya saat pemerintahan Sultan Iskandar Muda ini Aceh mengalami masa keemasan. Sebagian besar Pulau Sumatera ditaklukkannya dan Islam disebarkan sampai ke Sumatera Tengah dan Timur.

Di Minangkabau, gerakan para ulama menamakan Gerakan Padri bagi perlawanan mereka. Tersebutlah seorang mujahid tangguh, dialah Tuanku Imam Bonjol. Penjajah Belanda selalu ketakutan kalau-kalau kekuasaan agama (Islam) bertambah besar. Seperti diketahui, selain menentang pengaruh Belanda, ia juga gigih berdakwah. Daerah yang belum disentuh kala itu adalah Batak, daerah Tapanuli Utara. Untuk membendungnya, Belanda membantu gerakan misionaris Kristen di tanah Batak. Ismail Jakub mencatat bahwa Tuanku Imam Bonjol kemudian mendirikan benteng-benteng pertahanan untuk melawan dan mengusir penjajah Belanda.

Pada tahun 1822 pecahlah perang Padri yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol. Dalam perang ini kaum Padri selalu mengguratkan kemenangan. Perlawanan 16 tahun yang cukup meletihkan. Berulang-ulang Belanda menyerbu Bonjol, tapi tiap kali menelan pil pahit kekalahannya. Namun dengan kelicikannya akhirnya Belanda berhasil menawan Tuanku Imam Bonjol untuk kemudian dibuang ke Pulau Ambon pada tahun 1837.

Di tanah Jawa, Islam sebagai spirit perlawanan juga berkobar di dada anak negeri. Di bawah pimpinan Pangeran Abdul Hamid Diponegoro, meletuslah perlawanan sepanjang 1825-1830. Dalam catatan Ismail Jakub, perang yang berlangsung sepanjang 5 tahun itu menewaskan tak kurang dari 8000 serdadu Belanda. Karena gerah dengan perlawanan yang gigih, Belanda meminta berunding.

Pada hari Ahad 28 Maret 1830 berlangsunglah perundingan antara Pangeran Diponegoro dengan Jenderal De Cock di kota Magelang. Diponegoro didampingi oleh Martanegara dan Kiai Badaruddin. Pada saat itu De Cock menanyakan keinginan Diponegoro, yang kemudian dijawabnya dengan kalimat, “Keinginan saya adalah pertama ingin mendirikan negara merdeka di bawah pimpinan seorang sultan, kedua ingin menjadi amirul mukminin di seluruh Jawa, sebagai kepala masyarakat Islam.”

Demikianlah, Belanda yang memang tengah berniat buruk untuk menjebak Diponegoro segera saja melakukan makar dengan keji. Mereka menawan Diponegoro dengan cara yang licik. Diponegoro dibuang ke Manado. Setelah 4 tahun di Manado, ia dipindahkan ke Benteng Rotterdam di Makassar yang dijaga siang malam hingga wafatnya.

Masih banyak para pejuang Islam dan sejatinya amatlah panjang deret perlawanan yang dilakukan oleh para Mujahid di Nusantara. Ada banyak catatan pengorbanan yang ditorehkan dengan tinta darah perjuangan mereka, dengan Islam menjadi spirit perlawanan. [Sabili, edisi khusus Juli 2004]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *