Cita penegakan syariat Islam Nusantara tak pernah mati sampai hari ini. Cikalnya seorang telah menghunjam dalam-dalam di sanubari umat. Berurut mundur hingga ke pusaran sejarah pra kemerdekaan. Para pejuang Islam jualah yang angkat senjata melawan penjajahan. Dari Tjut Nyak Dien hingga Sultan Hasanuddin, Imam Bonjol hingga Pangeran Diponegoro, berlanjut hingga suksesnya perjuangan politik Islam meretas proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Namun gempita merdeka yang telah diproklamasikan cacat bernila. Tujuh kata tentang keharusan penerapan syariat Islam bagi para pemeluknya dihapus dari Pembukaan UUD 1945. Alasannya, hanya demi merayu hati minoritas Kristen agar urung memisahkan diri. Riwayatnya pun aneh bin ajaib. Gara-gara kedatangan seorang opsir Jepang yang mengaku wakil dari Kaigun. Jika tujuh kata itu berlaku, katanya, wakil-wakil Katolik dan Protestan di daerah-daerah yang berada dalam kekuasaan Angkatan Laut Jepang akan memerdekakan diri. Bukan hanya identitas opsir itu yang tak jelas, tapi juga sejak kapan Jepang menjadi wakil bagi kaum Kristen?
Pergulatan masih berlanjut. Tekad para pejuang muslim untuk menjadikan Islam nafas bagi kemerdekaan Indonesia akhirnya pupus tak bersisa, ketika Presiden Soekarno berteguh hati menolak menjadikan Islam sebagai dasar negara. Dalam pidatonya di Amuntai, Kalimantan Selatan, pada 27 Januari 1953, Soekarno menegaskan, “Yang kita inginkan adalah negara nasional yang meliputi seluruh Indonesia.”
“Jika kita mendirikan negara berdasarkan Islam, banyak daerah yang penduduknya bukan Islam akan memisahkan diri,” dalih Soekarno. Salah seorang proklamator RI ini mengklaim, jika Islam dijadikan dasar negara akan membuat Irian Barat enggan gabung dalam keluarga besar RI. Demi Irian Barat, Bung Karno rela mengkhianati kawan-kawan seiring.
Satu dari rekan seperjalanan yang digunting Soekarno adalah Daud Beureueh, mantan gubernur militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Kesetiaan pejuang kemerdekaan Aceh ini pada RI suci tak ternoda. Pada 15 Oktober 1945, bersama dua rekannya Teungku Ahmad Hasballah Indrapuri dan Teungku Hasan Krueng Kalee, Beureueh mengeluarkan “Makloemat Oelama Seluruh Atjeh”. Isinya, instruksi untuk taat pada perintah Presiden Soekarno. Pernyataan itu disebar ke seluruh Aceh dan menyebutnya sebagai Perang Sabil.
Ketika berkunjung ke Aceh pada 15 Juni 1948, Soekarno meminta kepada Beureueh agar Aceh mempertahankan RI hingga tetes darah penghabisan. Tanpa ragu sedikit pun, ulama kharismatik Aceh ini menjawab, “Saudara Presiden, kami rakyat Aceh, dengan segala senang hati memenuhi permintaan Anda.”
Sebagai konsesi politik atas jasa Aceh dalam melawan penjajahan Belanda, Soekarno mengabulkan permohonan Beureueh untuk memberi kebebasan kepada Aceh untuk menjalankan syariat Islam. “Kakak (panggilan khas Bung Karno kepada Beureueh) tak usah khawatir. Sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam.”
Beureueh segera menyodorkan secarik kertas, meminta agar janji Soekarno dituliskan. Merasa Tak dipercaya, Soekarno menangis. Kala itu, diiringi cucuran air mata, terucaplah sumpah Soekarno yang berhasil meluluhkan hati Beureueh. “Wallah! Billah! Kepada daerah Aceh nanti akan diberikan hak menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan syariat Islam.”
Janji tingallah janji, badai juga yang dituai. Penetapan Aceh sebagai propinsi pada 1949 hanya berumur 2 tahun, ketika akhirnya dibubarkan pada Januari 1951. Tambah lagi pidato Presiden Soekarno di Amuntai menjadi pengingkaran jelas bagi cita Aceh untuk meraih hak otonomi syariatnya. Tak menunggu lama, pada 21 September 1953 Beureueh memutuskan untuk bergabung dengan Darul Islam, pimpinan Kartosoewirjo.
“Berdasarkan pernyataan Negara Republik Islam Indonesia pada tanggal 21 Sjawal 1368 H / 7 Agustus 1949 oleh Imam Kartosoewirjo, atas nama umat Islam Indonesia, maka dengan ini kami njatakan daerah Atjeh dan sekitarnya menjadi bagian daripada Negara Islam Indonesia. Tertanda Teungku Muh Daud Beureueh,” demikian bunyi teks proklamasi NII di Aceh.
Dalam suratnya kepada Kol. M Yasin, panglima yang ditugaskan menumpas “pemberontakan” DI/TII di Aceh, Beureueh menjelaskan alasannya mengangkat senjata. Yakni, upaya penegakan “hukum Allah dan Rasul” dan akibat kekecewaann rakyat Aceh terhadap sikap Jakarta.
Kekecewaan yang sama juga dirasakan oleh Sekarmaji Marijan Kartosoewirjo, pejuang kemerdekaan di Jawa Barat. Kekesalan Kartosoewirjo sangat beralasan karena ia pun telah mempersiapkan kemerdekaan Indonesia jauh-jauh hari sebelumnya. Sejak Juli 1945 ia telah ditugaskan Jepang untuk menjadi pengamat latihan-latihan di Banten. Ia menjadi algojo yang diperkirakan akan berhadapan dengan Belanda yang akan mendarat di kota itu. Bersama tokoh-tokoh lainnya, ia terus mendorong agar syariat Islam diakomodasi sebagai dasar negara dalam sidang yang berlangsung sengit pada Juni 1945.
Namun pada saat pembentukan BPUPKI, Kartosoewirjo merasa bahwa umat Islam telah ditinggalkan dengan dibentuknya BPUPKI yang menurutnya dikuasai oleh non-Muslim dan Muslim sekuler. Akhirnya tindakan diskriminatif itu menyebabkan hilangnya tujuh kata yang telah disepakati dalam piagam Jakarta 22 Juni 1945.
Belum lagi luka itu sembuh, Soekarno memerintahkan untuk memindahkan seluruh pasukan TNI ke Yogyakarta, termasuk Divisi Siliwangi yang bertugas di daerah Jawa Barat, sebagai konsekuensi pelaksanaan perjanjian Renville. Bagi kartosoewirjo, yang pernah berguru kepada tokoh-tokoh pergerakan seperti HOS Tjokroaminoto dan H Agus Salim, langkah ini sama saja tunduk pada kemauan Belanda. Kartosoewirjo akhirnya tampil dengan pasukannya untuk menjaga keamanan Jawa Barat, “Mulai sekarang tak ada hubungannya lagi dengan RI.”
Puncaknya pada tanggal 7 Agustus 1949 Kartosoewirjo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) di Desa Malangbong, Tasikmalaya. NII juga didukung oleh laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menamakan diri Tentara Islam Indonesia (TII).
Kemarahan yang sama juga dirasakan oleh Abdul Qahhar Muzakkar, yang mengangkat senjata di Sulawesi Selatan. Padahal, Qahhar Muzakkar adalah salah satu yang mendesak Soekarno agar tanpa ragu mengumumkan proklamasi kemerdekaan RI. “Saya akan paksakan Bapak Soekarno untuk proklamasi. Setuju atau tidak, ini harus proklamasi!” tegas Muzakkar sebagaimana dituturkan salah seorang mantan pembantu dekatnya ketika di hutan, KH. Achmad Marzuki Hasan.
Perjuangan DI (1949-1964) bukanlah tentang rebutan sepotong tanah dan kuasa, tapi tentang sebuah visi. Dalam catatan Holk Harald Dengel, dalam “Darul Islam: Kartosoewirjo Kamf um einen Islamichen Staat Indonesien (Darul Islam dan Kartosoewirjo)”, berkait dengan perselisihan para pendiri negara ini tentang dasar dan haluan politik negara. Antara komunisme, nilai budaya, dan juga Islam. Wajar jika umat Islam menuntut tegaknya syariat Islam, karena merekalah yang telah berpeluh darah demi tegaknya kemerdekaan Indonesia.
Dalam bahasa M Natsir yang diungkapkan dalam “Pembela Islam” (No 36, Oktober 1931), “Pergerakan Islam pulalah yang pertama-tama meretas jalan di negeri ini bagi kegiatan politik yang mencita-citakan kemerdekaan yang telah menebarkan benih kesatuan Indonesia.”
Meletusnya perlawanan bersenjata demi tegaknya Islam sebagai dasar negara bukan satu-satunya jalan untuk menuntut hak tegaknya Islam sebagai dasar negara. Jalur politik juga ditempuh oleh para tokoh Islam seperti M Natsir, Kasman Singodimejo, Prawoto Mangkusasmito, Syafruddin Prawiranegara, dan lainnya. Perdebatan luar biasa melalui parlemen maupun media massa berlangsung marak.
Bagi para tokoh penentang syariat kala itu, Islam dianggap tak sehalu dengan kepentingan nasionalisme. Sebuah klaim yang menyesatkan dan telah dibantah oleh Natsir, “Cita-cita kaum Muslimin dalam perjuangan kemerdekaan ini adalah untuk kemerdekaan Islam agar kaidah-kaidah Islam dilaksanakan untuk kesejahteraan dan kesempurnaan kaum Muslimin serta segenap ciptaan Allah.”
Perjuangan panjang umat Islam demi tegaknya Islam sebagai dasar negara akhirnya kandas. Sidang-sidang konstituante ada rentang Mei-Juni 1959 untuk membahas usulan pemerintah agar kembali kepada UUD 1945 buntu total. Sebagaimana diketahui, fraksi Islam setuju untuk kembali kepada UUD 1945 dengan Pancasila dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Sedang pihak sekuler menyetujui untuk kembali kepada UUD 1945 tanpa perubahan. Meski suara yang menyetujui perubahan mayoritas, namun tetap saja buntu karena syarat dua pertiga yang ditetapkan majelis tidak terpenuhi.
Soekarno akhirnya memapas habis upaya mengegolkan Piagam Jakarta ini dengan mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959 yang isinya, antara lain: membubarkan konstituante dan menetapkan untuk kembali kepada UUD 1945. Dekrit ini juga mencela habis parlemen dengan menyebutnya “tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya.” Memang ada nada sejuk dalam dekrit itu ketika menyebut Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Namun kenyataannya teks itu hanyalah upaya menarik simpati umat Islam.
Sejarah terus berlanjut hingga hari ini. Perjuangan demi tegaknya syariat Islam bagi para pemeluknya takkan pernah pudar. Di hadapan umat Islam terpampang jalan perjuangan meretas tegaknya syariat Islam melalui dakwah, pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, dan tentu saja politik. [Sabili, edisi khusus Juli 2004]