Sebuah Parade Ukhuwah

alhikmah.com. Sebuah kisah nyata seperti yang di utarakan oleh Drs. Umar Ali Yahya dan Syarifuddin. Ukhuwah intinya ‘MEMBERI ‘. Memberi tanpa mengharapkan balasan Dan mengharap balasan hanya dari Allah SWT

Ukhuwah dan keimanan seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, maka dari itu jika salah satu tidak ada maka yang lainnya pun sirna. Tingkat ukhuwah terendah ialah bersih hati dan berbaik sangka pada saudaranya sedangkan tingkat ukhuwah tertinggi ialah mendahulukan saudaranya daripada dirinya [Drs. Umar Ali Yahya].

Alkisah disebuah Madrasah Tsanawiyah di daerah Bangka Jakarta Selatan, berkumpul sekelompok anak-anak sekolah yang sedang istirahat mengerumuni abang penjual rujak, rupanya siang itu anak-anak sedang membeli rujak.Diantara sekumpulan anak-anaktersebut terdapatlah seorang anak bernama Ubaidurrahman (Ubay) yang saat itu ingin sekalimembeli rujak namun uangnya ketinggalan di kelas.Keinginan Ubay itu ditangkap oleh temannya Hamad tanpa terlewat sedikitpun. Saat itu Hamad pun sebetulnya ingin membeli rujak juga, namun uangnya tinggal seribu rupiah saja, dan itupun untuk ongkos pulang.

‘Pake uangku saja dulu Ubay,’ seru Hamad pada Ubay yang terlihat sangat ingin sekali membeli rujak. ‘Terima kasih Hamad, nanti aku ganti uangnya di kelas ya,’ jawab Ubay dengan riangnya.

Begitulah, Hamad meminjamkan uangnya yang hanya tinggal seribu itu pada Ubay untuk membeli rujak dengan harapan nanti akan dibayar di kelas. Ketika sampai di kelas ternyata Ubay tidak membayar hutangnya dengan alasan uangnya ternyata sudah terpakai untuk yang lain.

‘Masya Allah, Hamad aku lupa uangnya tadi sudah dipakai, besok saja ya…’ Hamad menatap Ubay sejenak dan kemudian mengangguk dengan senyum khasnya. Dalam keadaan tidak ada uang sepersen pun, bahkan untuk ongkos pulang sekalipun, Hamad masih tersenyum dan menjalani sisa harinya dengan kegembiraan.

Bel sekolah telah berbunyi, menandakan waktunya untuk pulang. Tidak terkecuali dengan Hamad, ia pun pulang meskipun tidak seperti hari-hari sebelumnya. Kali ini dia terlihat berjalan kaki, ya.. berjalan kaki dari sekolahnya di Bangka Jakarta Selatan sampai rumahnya di Jatibening Bekasi, yang biasanya memerlukan waktu 1 jam jika ditempuh dengan dengan kendaraan bermotor.

———-

‘Hamad kok belum pulang ya Bu? Aku mulai khawatir, coba telepon teman-temannya barangkali memang sedang ada acara di sekolahnya,’ pinta Ust. Zufar pada istrinya.Ust. Zufar merupakan ayah dari Hamad. Beliau ialah sosok yang ramah, nama lengkapnya ialah Ust. Zufar Bawazier, Lc, dosen LIPIA dan juga pengurus sebuah Partai Islam di Indonesia.

Saya sempat mengenalnya ketika beliau mengisi sebuah seminar di Bandung dimana saya terlibat sebagai panitia. Saat itu, beliau kami sediakan tiket pulang dengan Kereta Api untuk jadwal kepergian jam 13.00.

Betapa kagetnya saya ketika teman saya memberitahukan bahwa Ust. Zufar sedang berdiri menunggu angkutan umum yang saya yakin beliau tidak hafal rutenya, untuk menuju stasiun. Lebih parah lagi waktu telah menunjukan pukul 12.50, yang artinya hanya 10 menit lagi kereta akan segera pergi.

Saya segera mengambil motor untuk mengantarnya menuju stasiun, saya tidak habis fikir mengapa Ust. Zufar tidak memberi tahu panitia kalau keadaannya seperti ini, atau memang panitianya yang tidak memperhatikan, pikirku.

Aku susuri jalanan kota Bandung dengan kecepatan tinggi, bahkan sempat melanggar beberapa rambu lalu lintas, aku tak peduli, saat itu fikiranku hanya mengantar Ust. Zufar agar tidak ketinggalan kereta menuju Jakarta.

Dan memang akhirnya Ust. Zufar bisa mendapatkan keretanya, walaupun harus dengan berlari setelah sebelumnya masih sempat menyalamiku sambil tersenyum dan mengucapkan terima kasih padaku. Itulah kenangan terakhir dan satu-satunya pertemuanku dengan Ust. Zufar.

———-

‘Kriiing…’ telepon di rumah Pak Umar berdering. Telepon itu ternyata dari Ust. Zufar yang kemudian memberitahukan kepada Pak Umar bahwa anaknya saat itu pulang malam sekali. Pak Umar adalah kepala sekolah Madrasah Tsanawiyah dimana Hamad bersekolah. Lalu Ust.Zufar pun menjelaskan penyebab anaknya hingga pulang selarut itu kepada Pak Umar.

Esok harinya, Pak Umar memanggil Hamad dan Ubay ke Kantor. Tidak ditemukan wajah kesal atau kecut dari Hamad, suatu pancaran ketenangan jiwa dari seorang anak yang masih bersih hatinya.

Lalu Pak Umar berkata pada Ubay, ‘Lihatlah, sepatu temanmu rusak karena kamu menyia-nyiakan kebaikannya…’ Pak Umar terkenal akan kebijaksanaannya, beliau digelari ‘Pembina Sejati’ oleh teman saya di Bandung yang pernah merasakan sentuhannya pula. Saya beruntung pernah menjadi binaanya selama setahun. Waktu yang cukup singkat untuk sebuah pembinaan yang bertajuk Ta’lim Rutin Kader Partai Keadilan Sejahtera. Namun waktu yang singkat itu telah cukup baginya untuk meniup kuncup dalam diri ini sehingga mekar menjadi bunga.

Sepatu tua Hamad terlihat rusak, yang memang sebelumnya sudah lusuh. Ubay menangkap semua itu tanpa terlewat sedikitpun. ‘Maafkan aku ya Hamad, ini pakai saja sepatuku, aku punya dua sepatu kok di rumah.’

Begitulah kisah mereka berdua, ibarat sebuah parade ukhuwah mereka begitu mempesona setiap orang yang melihatnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *