Ja’far bin Abi Thalib

Di kalangan Bani Abdi Manaf ada lima orang yang sangat mirip dengan Rasulullah saw. sehingga seringkali orang salah menerka. Mereka itu adalah:

Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Muthallib, anak paman Nabi saw. sekaligus sebagai saudara sesusuannya.

Qutsam Ibnul Abbas bin Abdul Muthallib, anak paman Nabi saw.

Saib bin Ubaid bin Abdi Yazin bin Hasyim, kakek Syafi’i r.a.

Ja’far bin Abi Thalib, yaitu saudara Ali bin Abi Thalib.

Hasan bin Ali Bin Abi Thalib, cucu Rasulullah saw. Beliau ini paling mirip dengan Nabi saw. di antara mereka berlima.

Marilah sekarang kita melihat sisi kehidupan Ja’far bin Abi Thalib. Abi Thalib termasuk bangsawan Quraisy dan mempunyai kedudukan terpandang dalam masyarakat. Namun, kehidupannya susah dan tanggungannya banyak. Ia pernah mengalami keadaan sangat kritis saat kemarau panjang. Tanaman mati karena kekeringan dan banyak orang terpaksa memakan bangkai. Di saat paceklik seperti ini, biasanya tidak ada yang menaruh perhatian untuk meringankan beban Abu Thalib di kalangan Bani Hasyim selain Abbas dan Muhammad bin Abdullah.

Muhammad berkata kepada Abbas, “Wahai paman, saudara paman (yaitu Abu Thalib) memiliki tanggungan yang sangat banyak. Sebagaimana yang paman saksikan, seluruh masyarakat kini sedang ditimpa musibah berupa kemarau panjang dan paceklik yang mengakibatkan banyak orang kelaparan. Marilah kita pergi ke rumah Abu Thalib, saudara paman. Kita ambil alih sebagian tanggungannya untuk meringankan beban keluarganya. Aku mengambil anaknya seorang, dan paman mengambil pula anaknya yang lain. Agaknya dengan begitu, cukup besar artinya untuk meringankan bebannya.”

Abbas berkata, “Usulmu sangat bagus. Engkau betul-betul membangunkanku untuk kebajikan. Marilah kita pergi.”

Mereka pun pergi ke rumah Abu Thalib. Lalu berkata, “Kami datang hendak meringankan beban Anda yang berat. Izinkanlah kami membawa sebagaian anak-anakmu tinggal bersama kami sampai masa sulit yang mencekam seluruh masyarakat ini reda kembali.”

Abu Thalib berkata, “Boleh saja, asal kalian tidak membawa Aqil.” Aqil adalah anak laki-laki Abu Thalib yang tertua.

Muhammad bin Abdullah mengambil Ali bin Abi Thalib lalu digabungkannya dalam keluarganya. Sedangkan Abbas membawa Ja’far bin Abi Thalib dan digabungkannya pula dalam keluarganya. Ali tetap tinggal bersama Muhammad bin Abdullah sampai Allah mengutusnya menjadi rasul dengan agama yang hak. Dan, Ali tercatat sebagai pemuda yang pertama-tama masuk Islam.

Sementara Ja’far tinggal bersama paman Abbas hingga ia dewasa, lalu dia masuk Islam, dan tidak memerlukan bantuan Abbas lagi. Ja’far dan istrinya, Asma’ bin Umais, menerjunkan dirinya dalam kendaraan Islam sejak dari awal. Keduanya menyatakan Islam di hadapan Abu Bakar Shiddiq r.a. sebelum Rasulullah saw. masuk ke rumah Al-Arqam. Pasangan suami istri Bani Hasyim yang muda belia ini tidak luput pula dari penyiksaan kaum kafir Quraisy, sebagaimana yang diderita kaum muslimin yang pertama-tama masuk Islam. Tetapi, suami istri ini bersabar menerima segala cobaan yang menimpanya, karena mereka tahu jalan ke surga bertabur duri dengan segala macam kesulitan dan kepedihan. Tetapi yang merisaukan mereka berdua adalah kaum Quraisy membatasi geraknya untuk menegakkan syiar Islam dan melarangnya untuk merasakan kelezatan ibadah. Karena itu, kaum Quraisy senantiasa mengamati gerak-gerik keduanya. Maka, Ja’far bin Abi Thalib beserta istrinya memohon izin kepada Rasulullah saw. untuk hijrah ke Habasyah bersama-sama dengan para sahabat lainnya. Dengan sedih hati Rasulullah saw. mengizinkannya. Sebaliknya, mereka dengan amat berat meninggalkan kampung halaman tempat mereka bermain pada waktu kecil dan waktu muda, tanpa suatu dosa yang mencemarkan, kecuali karena mereka mengucapkan kata-kata “Rabbunallaah” (Rab kami hanyalah Allah). Namun, mereka tidak berdaya untuk menangkis siksaan dan tekanan kaum Quraisy.

Kendaraan kaum muhajirin yang pertama-tama berangkat ke Habasyah di bawah pimpinan Ja’far bin Abi Thalib r.a. Mereka merasa lega di bawah perlindungan Najasyi, Raja Habasyah yang adil dan saleh. Sejak mereka masuk Islam itulah, mereka baru merasa aman, dapat menikmati kemanisan agama yang mereka anut, bebas dari rasa cemas dan ketakutan yang mengganggu dan yang menyebabkan mereka hijrah.

Namun, tidak berapa lama setelah kaum Quraisy mengetahui rombongan kaum muslimin yang hijrah ke Habasayah dan mendapat perlindungan raja Najasyi, dapat melaksanakan dinnya dengan tenang dan aman, kaum Quraisy pun terkejut dan khawatir. Mereka kemudian berunding untuk membunuh kaum muhajirin itu atau meminta mereka agar dimasukan penjara. Untuk itu marilah kita dengarkan Ummu Salamah (salah seorang muhajirat) menceritakan kisah nyata yang dilihat dan didengarnya sendiri.

Ummu Salamah berkata, “Manakala kami tiba di Habasyah, kami disambut dan bertemu dengan tetangga yang baik. Kami dapat melaksanakan agama kami dengan aman, dan beribadah kepada Allah tanpa mendapatkan siksaan atau gangguan yang tidak diinginkan.

Ketika kaum Quraisy mendengar berita tentang keadaan kami lebih baik, mereka segera berunding untuk mengacaukan kami. Lalu mereka mengutus dua orang diplomat ulung kepada Raja Najasyi, yaitu Amr bin Ash dan Abdullah bin Rabiah dengan membawa persembahan sejumlah hadiah besar untuk Najasyi pribadi, dan untuk para pemuka agama (pendeta) mereka berupa barang-barang mewah dan antik dari Hijaz. Namun, mereka memutuskan untuk tidak memberikan kepada raja terlebih dahulu sebelum memberikannya kepada para pendeta.

Tatkala kedua utusan itu tiba di Habasyah, mereka terlebih dahulu menemui pemuka agama yang terdekat dengan Najasyi dan memberikan hadiah untuk mereka. Kedua utusan itu berkata, “Telah datang ke negeri Anda, orang-orang bodoh kami. Mereka mengingkari agama nenek moyang dan memecah belah persatuan bangsa. Bila nanti kami berbicara dengan baginda raja, kami harap tuan-tuan dapat menolong kami supaya baginda raja sudi menyerahkan mereka kepada kami, tanpa menanyakan masalah agama, karena pemimpin rombongan mereka sangat pandai berbiara dan mengerti tentang agama yang mereka yakini.”

“Baiklah,” jawab pendeta itu.

Ummu Salamah meneruskan ceritanya, “Namun, apa yang mereka khawatirkan justru itulah yang terjadi. Raja Najasyi memangil salah seorang kami untuk didengar keterangannya.”

Kedua utusan Quraisy menghadap Raja Najasyi dengan membawa persembahan bermacam-macam dan hadiah yang tak ternilai harganya. Baginda raja memuji dan mengagumi persembahan mereka.

Utusan Quraisy berkata, “Wahai paduka raja telah datang ke negara paduka orang-orang jahat bangsa kami. Mereka datang dengan membawa agama yang tidak pernah kami kenal dan juga belum pernah paduka kenal. Mereka keluar dari agama nenek moyang kami, tetapi tidak pula masuk ke dalam agama paduka. Kami diutus oleh bapak-bapak dan segenap famili untuk menjemput dan membawa mereka kembali pulang, mereka sangat pandai mengada-ada dan membuat fitnah.

Najasy melihat kepada para pendeta yang berada di sampingnya. Lalu mereka berkata, “Apa yang disampaikan kedua utusan itu memang benar, wahai paduka. Orang yang sebangsa dengan kaum pelarian itu lebih mengeri dan tahu tentang kejahatan mereka. Karena itu sebaiknyalah kaum pelarian itu dikembalikan saja kepada mereka. Terserah kepada mereka apa yang akan diperbuat sesudah itu.”

Baginda raja marah mendengar jawaban dari para pendeta. “Tidak…! Demi Allah…! tidak seorang pun dari mereka akan saya serahkan sebelum saya memanggil mereka dan meminta keterangannya tentang tuduhan yang diberikan kepada mereka. Jika benar mereka orang jahat sebagaimana yang dituduhkan, maka mereka akan saya serahkan. Tetapi, jika tuduhan itu palsu, mereka akan saya lindungi dan akan saya jadikan tetanggaku yang baik selama mereka menghendaki,” ucap Najasyi.

Selanjutnya, kata Ummu Salamah, “Najasyi memangil kami untuk menghadap kepadanya. Sebelum menghadap, terlebih dahulu kami bermusyawarah. Sebagian kami berkata, “Kita dipanggil menghadap baginda raja untuk diminta keterangannya tentang agama kita. Karena itu, kita tentukan saja seorang juru bicara untuk menjelaskan kepada beliau. Pilihan mereka jatuh kepada Ja’far bin Abi Thalib dan yang lainnya tidak diijinkan untuk berbicara.”

Sesudah membuat keputusan, kami pergi menghadap baginda Raja Najasyi. Di dalam majlis raja telah hadir para pendeta pemuka agama. Mereka duduk di kanan kiri baginda. Masing-masing memakai pakaian kebesarannya, lengkap dengan jubah, kopiah dan memegang sebuah kitab di tangan mereka. Di samping para pendeta, kami melihat pula Amr bin Ash dan Abdullah bin Rabiah.

Setelah duduk dengan tenang di dalam majlis, baginda raja menoleh kepada kami dan berkata, “Agama apakah yang tuan-tuan anut, sehingga tuan-tuan keluar dari agama bangsa tuan-tuan, tetapi tidak pula masuk ke dalam agama kami atau agama-agama lain yang telah ada?”

Maka tampillah Ja’far bin Abi Thalib menjawab, “Wahai paduka raja, dahulu kami memang bangsa yang bodoh. Kami menyembah berhala, memakan bangkai, berzina, mengerjakan segala pekerjaan keji, saling bermusuhan, tidak mempedulikan tetangga, dan yang kuat selalu memakan yang lemah. Begitulah keadaan kami dahulu sebelum Allah mengutus Rasul-Nya kepada kami. Kami mengenal benar kepribadian Rasul Allah itu. Turunnya, kebenaran setiap kata yang diucapkannya, kejujurannya, kesucian pribadinya yang tidak sedikit jua pun ternoda, dan seterusnya. Dia mengajak kami supaya memeluk agama Allah, mengesakan Allah, beribadah semata-mata kepada-Nya dan supaya meninggalkan agama kami yang lama, yaitu agama nenek moyang kami yang menyembah batu dan berhala. Bahkan dia menyuruh kami agar selalu berbicara benar, senantiasa memegang amanah, menghubungkan sillahturrahmi, bersikap baik kepada tetangga, menghentikan segala perbuatan terlarang, dan petumpahan darah. Dia juga melarang kami berzina dan melakukan segala perbutan keji, mengucapkan kata-kata kotor, memakan harta anak yatim, menuduh wanita baik-baik berbuat serong. Dia menyuruh kami beribadah kepada Allah saja, tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain-lain. Dia menyuruh kami menegakkan salat, membayar zakat, dan puasa bulan Ramadahan. Kami menerima bak segala perintah dan larangannya. Kami percaya sungguh kepadanya. Dan, kami patuhi segala yang diajarkan Allah kepadanya. Maka kami halalkan segala yang dikatakannya halal dan kami haramkan segala yang dikatakannya haram. Tetapi, wahai paduka raja! Sebagian bangsa kami memusuhi kami karenanya. Mereka menyiksa kami dengan siksaan berat agar kami keluar dari agama yang kami anut itu dan kembali kepada agama lama yang menyembah berhala. Maka tatkala penganiayaan dan penyiksaan mereka terhadap kami sudah demikian memuncak dan kami dihalang-halangi untuk terus melaksanakan ajaran agama kami, lalu kami keluar dari negeri kami dan memilih negeri paduka sebagai tempat kami mengungsi. Karena kami yakin paduka adalah tetangga yang baik dan tidak akan berlaku zalim kepada kami.”

Najasyi berkata kepada Ja’far, “Dapatkah Anda membacakan salah satu ayat yang diajarkan Allah kepada nabi Anda?”

Ja’far menjawab, “Ya, tentu.”

Najasyi berkata, “Coba bacakan kepada saya.”

Ja’far membaca surat Maryam 1-4, yang artinya, “Kaaf Haa Yaa’ ‘Ain Shaad. Mengingat rahmat Rabmu kepada hamba-Nya Zakariya. Ketika ia berseru kepada Rabnya dengan suara perlahan-lahan. Dia berdo’a, “Wahai Rabku, sesungguhnya tulangku sudah lemah, dan kepalaku sudah beruban, dan aku belum pernah beruntung (bila) memohon kepada Engkau, wahai Rabku.”

Baru saja Ja’far selesai membacakan ayat-ayat permulaan surat tesebut, Najasyi menangis sehingga jenggotnya basah oleh air mata. Begitu pula para pastor turut menangis sehingga kitab di tangan mereka basah demi mendengar kalam Allah tersebut.

Najasyi berkata kepada kami, “Sesungguhnya agama yang dibawa nabi tuan-tuan dan agama yang dibawa Nabi Isa berasal dari satu sumber.”

Kemudian dia berpaling kepada Amr bin Ash dan Abdullah bin Rabiah seraya berkata, “Pergilah kalian, demi Allah, saya tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian selama-lamanya.”

Ummu Salamah selanjutnya berkata, “Ketika kami keluar dari majlis Najasyi, Amr bin Ash mengancam kami. Dia berkata kepada temannya, Abdullah bin Rabiah, “Demi Allah, besok akan saya datangi baginda raja. Akan saya katakan kepada baginda ucapan orang-orang ini yang pasti akan membuat hati baginda raja marah dan benci kepada mereka. Akan saya sebutkan kepada baginda secara tuntas kebusukan-kebusukan hati orang-orang ini.”

“Ah, jangan! Bukankah mereka ini karib kerabat kita juga, sekalipun mereka berselisih paham dengan kita,” kata Abdullah bin Rabiah.

Amr bin Ash berkata, “Biar saja, demi Allah, akan saya ceritakan kepada baginda besok. Demi Allah, akan saya ceritakan kepada baginda, bahwa orang-orang ini mengatakan Isa bin Maryam adalah hamba sahaya.”

Keesokan harinya Amr bin Ash menghadap Raja Najasyi dan berkta, “Wahai paduka raja, orang-orang yang paduka lindungi memandang rendah Isa bin Maryam. Cobalah paduka panggil lagi dan bertanya kepada mereka.”

Ummu Salamah melanjutkan ceritanya, “Setelah mengetahui tindakan Amr itu kami sungguh terpana. Kami tidak berpendirian begitu, jangankan pula untuk mengucapkan kata-kata yang menghina Nabi Isa bin Maryam. Lalu kami bermusyawarah tentang jawaban apa yang paling tepat mengenai persoalan itu, jika nanti baginda raja menanyakannya. Kami sepakat, “Demi Allah, kita tidak akan memberi jawaban melainkan dengan firman Allah. Kita tidak boleh keluar seujung kuku pun dari ajaran Nabi kita, dan harus senantiasa begitu.”

Kemudian menunjuk kembali Ja’far bin Abi Thalib menjadi juru bicara. Ketika dipanggil baginda raja, kami pun datang menghadap. Kami dapati para pastor telah hadir seperti kemarin. Di samping mereka terlihat pula Amr bin Ash dan kawannya. Segera kami duduk di hadapan baginda, lalu ia bertanya kepada kami, “Bagaimana pendapat tuan-tuan tentang Isa bin Maryam?”

Ja’far berkata, “Kami mempercayainya sebagaimana diajarkan nabi kami.”

Najasyi berkata, “Bagaimana ajaran nabi tuan-tuan mengenai beliau.”

Ja’far menjawab, “Beliau bersabda, “Sesungguhnya Isa adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, ruh-Nya, dan firman-Nya yang ditujukan kepada Maryam yang senantiasa perawan suci.”

Mendengar jawaban Ja’far itu, Najasyi menepukkan tangannya ke lantai seraya berkata, “Demi Allah tidak berbeda seujung rambut pun ajaran Isa bin Maryam dengan ajaran nabi tuan-tuan.”

Para pastor bernafas panjang, sebagai protes terhadap ucapan Najasyi. Lalu Najasyi berkata kepada para pendeta, “Sekalipun kalian mencemooh, pergilah kalian! Kalian percaya terhadap orang-orang yang telah menyogok dan mendatangkan malapetaka pada kalian. Demi Allah, saya tidak suka menerima emas walaupun sebesar gunung, tetapi mencelakai salah seorang kamu dengan suatu kejahatan. Kemudian Najasyi menengok kepada Amr bin Ash dan kawannya seraya berkata, “Kembalikan semua hadiah-hadiah yang dipersembahkan kedua orang ini, saya tidak butuh persembahan mereka.”

Ummu Salamah melanjutkan ceritanya, “Amr bin Ash dan kawannya keluar dengan hati berkeping-keping dan sangat kecewa. Dia kalah total, mendapat kegagalan dan kekecewaan yang memalukan. Dan kami dibolehkan tetap tinggal di sisi Najasyi, di negeri yang baik dan penduduk yang berhati mulia pula.”

Ja’far bin Abi Thalib beserta istri tinggal dengan aman dan tenang dalam perlindungan Najasyi yang ramah tamah itu selama sepuluh tahun.

Pada tahun ke tujuh hijrah, kedua suami isteri itu meninggalkan Habasyah dan hijrah ke Yatsrib. Kebetulan Rasulullah saw. baru saja pulang dari Khaibar. Beliau sangat gembira bertemu dengan Ja’far sehingga karena kegembiraannya beliau berkata, “Aku tidak tahu mana yang menyebabkan aku gembira, apakah karena kemenangan di Khaibar atau karena kedatangan Ja’far?”

Begitu pula kaum muslimin umumnya, terlebih fakir miskin, mereka juga bergembira dengan kedatangan Ja’far. Ja’far sangat penyantun dan banyak membela golongan duafa, sehinga dia digelari Abil Masakin (bapak orang-orang miskin).

Abu Hurairah bercerita tentang Ja’far. Ia berkata, “Orang yang paling baik kepada kami (golongan orang-orang miskin) ialah Ja’far bin Abi Thalib. Dia sering mengajak kami makan di rumahnya, lalu kami makan apa yang ada. Bila makanannya sudah habis, diberikannya kepada kami pancinya, lalu kami habiskan sampai dengan kerak-keraknya.”

Belum begitu lama Ja’far tinggal di Madinah, pada awal tahun kedelapan hijriah Rasululalh saw. menyiapkan pasukan tentara untuk memerangi tentara Rum di Muktah. Beliau mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi komandan pasukan.

Rasululalh saw. bersabda, “Jika Zaid tewas atau cidera, komandan digantikan Ja’far bin Abi Thalib. Seandainya Ja’far tewas atau cidera pula, dia digantikan Abdullah bin Rawahah. Dan, apabila Abdullah bin Rawahah cidera atau gugur pula, hendaklah kaum muslmin memilih pemimpin/komandan di antara mereka. ”

Setelah pasukan sampai di Muktah, yaitu sebuah kota dekat Syam dalam wilayah Yordan, mereka mendapati tentara Rum telah siap menyambut kedatangan mereka dengan kekuatan 100.000 pasukan inti yang terlatih, berpengalaman, dan membawa persenjataan lengkap. Pasukan mereka juga terdiri dari 100 ribu milisi Nasrani Arab dari kabilah-kabilah Lakham, Judzam, Qudha’ah, dan lain-lain. Sementara, tentara kaum muslimin yang dipimpin Zaid bin Haritsah hanya berkekuatan 3000 tentara.

Begitu kedua pasukan yang tidak seimbang itu berhadap-hadapanan, pertempuran segera berkobar dengan hebatnya. Zaid bin Haritsah gugur sebagai syuhada ketika dia dan tentaranya sedang maju menyerbu ke tengah-tengah musuh.

Melihat Zaid jatuh, Ja’far segera melompat dari punggung kudanya yang kemerah-merahan, lalu dipukulnya kaki kuda itu dengan pedang, agar tidak dapat dimanfaatkan musuh selama-lamanya. Kemudian secepat kilat disambarnya bendera komando Rasulullah dari tangan Zaid, lalu diacungkan tinggi-tinggi sebagai tanda pimpinan kini beralih kepadanya. Dia maju ke tengah-tengah barisan musuh sambil mengibaskan pedang kiri dan kanan memukul rubuh setiap musuh yang mendekat kepadanya. Akhirnya musuh dapat mengepung dan mengeroyoknya. Sementara dia bersenandung menyanyikan sajak nan indah

Wahai … surga nan nikmat sudah mendekat

Minuman segar, tercium harum

Tetapi engkau Rum … Rum….

Menghampiri siksa

Di malam gelap gulita, jauh dari keluarga

Tugasku … menggempurmu ….

Ja’far berputar-putar mengayunkan pedang di tengah-tengah musuh yang mengepungnya. Dia mengamuk menyerang musuh ke kanan dan kiri dengan hebat. Suatu ketika tangan kanannya terkena sabetan musuh sehingga buntung. Maka dipegannya bendera komando dengan tangan kirinya. Tangan kirinya putus pula terkena sabetan pedang musuh. Dia tidak gentar dan putus asa. Dipeluknya bendera komando ke dadanya dengan kedua lengan yang masih utuh. Tetapi, tidak berapa lama kemudian, kedua lengannya tinggal sepertiga saja dibuntung musuh. Secepat kilat Abdullah bin Rawahah merebut bendera komando dari komando Ja’far bin Abi Thalib. Pimpinan kini berada di tangan Abdullah bin Rawahah, sehingga akhirnya dia gugur pula sebagai syuhada’, menyusul kedua sahabatnya yang telah syahid lebih dahulu.

Rasulullah saw. sangat sedih mendapat berita ketiga panglimanya gugur di medan tempur. Beliau pergi ke rumah Ja’far bin Abi Thalib anak pamannya. Didapatinya Asma’, isteri Ja’far, sedang bersiap-siap menunggu kedatangan suaminya. Dia mengaduk adonan roti, merawat anak-anak, memandikan dan memakaikan baju mereka yang bersih.

Asma’ bercerita, “Ketika Rasulullah mengunjungi kami, terlihat wajah beliau diselubungi kabut sedih. Hatiku cemas, tetapi aku tidak berani menanyakan apa yang terjadi, karena aku takut mendengar berita buruk. Beliau memberi salam dan menanyakan anak-anak kami.

Beliau berkata, “Mana anak-anak Ja’far, suruh mereka ke sini.”

Maka kupanggil mereka semua dan kusuruh menemui Rasulullah saw. Anak-anak berlompatan kegirangan mengetahui kedatangan beliau. Mereka berebutan untuk bersalaman kepada beliau. Beliau menengkurapkan mukanya kepada anak-anak sambil menciumi mereka penuh haru. Air mata beliau mengalir membasahi pipi mereka. Saya bertanya, “Ya Rasulullah, demi Allah, mengapa anda menangis? Apa yang terjadi dengan Ja’far dan kedua sahabatnya?”

Beliau menjawab, “Ya …, mereka telah syahid hari ini.” Mendengar jawaban beliau, maka reduplah senyum kegirangan di wajah anak-anak, apalagi setelah mendengar ibu mereka menangis tersedu-sedu. Mereka diam terpaku di tempat masing-masing, seolah-olah seekor burung sedang bertengger di kepala mereka. Rasulullah berucap sambil menyeka air matanya, “Wahai Allah, gantilah Ja’far bagi anak-anaknya … wahai Allah, gantilah Ja’far bagi isterinya.” Kemudian kata beliau selanjutnya, “Aku melihat sungguh Ja’far berada di surga. Dia mempunyai dua sayap berlumuran darah dan bertanda di kakinya.” Wallahua’lam.

Sumber: Kepahlawanan Generasi Sahabat Rasulullah, Abdurrahman Ra’fat Basya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *