Sabili No.03 Th.X
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, Hajjaj bin Yusuf diamanahkan untuk menjadi Wakil Gubernur Baghdad. Namun pada waktu itu orang yang membela kebenaran dianggap ingkar. Mencegah kezaliman berarti pemberontak, dan mengungkapkan perasaan disebut pengkhianat. Sa’id bin Jubair, salah seorang ulama pada masa mendapatkan cap semua itu.
Setelah beberapa hari dalam pencarian, akhirnya Sa’id bin Jubair dapat ditemukan dan dibawa ke Baghdad untuk dihadapkan kepada wali yang zalim. Setiba di istana terjadilah dialog antara bin Jubair dan Hajjaj bin Yusuf.
“Siapa nama Anda?” tanya Hajjaj. Sa’id bin Jubair (yang bahagia anak orang yang teguh, red),” jawab Sa’id.
“Tidak, namamu yang layak adalah Syaqiy bin Kusair (si celaka anak si pecah, red),” hardik sang wakil gubernur. Mendengar demikian dengan tegas Sa’id berkata, “Yang memberi nama adalah orang tuaku, bukan Anda. Anda tidak berhak mengubahnya.”
Belum lagi Sa’id selesai bicara, tiba-tiba Hajjaj menyelanya, “Celakalah kamu dan ibu bapak kamu yang memberi nama seperti itu.”
“Anda tidak dapat mencela seperti itu. Hanya Allah Yang Maha Kuasa.”
“Diam! Jangan banyak bicara! Saya akan kirim kamu ke neraka.”
“Jika saya tahu bahwa Anda berkuasa menentukan tempatku di akhirat, tentu sejak dari dulu saya menyembah Anda.”
“Bagaimana pendapatmu tentang Ali bin Abi Thalib?”
“Kalau saya pernah masuk surga atau neraka, tentu saya akan katakan kepada Anda siapa saja yang terlihat di dalamnya.”
“Bagaimana pendapatmu tentang khalifah-khalifah yang lain?”
“Bukan tugasku menyelidiki amalan-amalan mereka.”
“Siapakah di antara mereka yang kamu sukai?”
“Yang paling tunduk kepada Allah.”
“Menurutmu siapakah yang paling tunduk kepada Allah?”
“Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.”
“Mengapa engkau tidak pernah tertawa?”
“Hati kita tidak sama.”
Hajjaj menyuruh salah seorang prajuritnya untuk mengeluarkan permata yang mahal-mahal, seperti nilam dan mutiara untuk diletakkan di hadapan Sa’id. Melihat sikap buruk demikian Sa’id berkata, “Tidak ada gunanya Anda membanggakan harta karena harta itu tidak dapat menyelamatkan diri Anda dari dahsyatnya hari kiamat.”
Hajjaj makin penasaran. Lalu diperintahkan lagi beberapa bawahannya untuk membawa alat-alat musik dan memainkannya di hadapan Sa’id. Namun ia tetap tidak bergeming. Ketika itu Hajjaj menjadi emosi. Dengan penuh kemarahan ia berkata, “Katakan dengan cara apa saya harus membunuh kamu Sa’id?”
Dengan tenang Sa’id menjawab, “Terserah Anda dengan cara apa saja, yang pasti Anda akan menerima balasan yang lebih pedih di akhirat nanti.”
Setelah berpikir sejenak, lalu Hajjaj mulai membujuk seraya berkata, “Apakah kamu sudi meminta grasi? Saya bersedia memberimu ampunan.”
“Saya hanya mau meminta ampunan kepada Allah, tidak kepada Anda.”
Kesal karena tidak dapat membujuk Sa’id, akhirnya ia memanggil beberapa pengawal dan berkata, “Bawa dan bunuh dia!” Para pengawal dengan sigap memenuhi titah Hajjaj. Namun ketika mendekati pintu Sa’id tersenyum. Seorang pengawal memberitahukan hal itu kepada Hajjaj. Ia pun dipanggil kembali dan ditanya, “Mengapa kamu tersenyum?”
“Saya tersenyum karena heran melihat Anda berani melawan Allah.”
Para prajurit sibuk menyiapkan natha’, hamparan kulit kerbau yang biasa digunakan untuk menampung darah dan bangkai orang yang dihukum pancung dihadapan khalayak ramai. Ketika itu Hajjaj berseru, “Cepat bunuh dia!” Sa’id dipegang kuat-kuat, namun ia tidak melawan, malahan dengan tenang ia hadapkan wajahnya ke langit, sedangkan bibirnya tidak henti-hentinya menyebut Asma Allah. Melihat demikian, Hajjaj semakin geram, lalu berkata, “Tundukkan dan tekan kepalanya!”
Sa’id tidak peduli lagi dengan ocehan Hajjaj. Dengan penuh kesungguhan ia berucap, “Aku hadapkan wajahku kepada yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh keikhlasan dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.”
Setelah itu Sa’id memalingkan wajahnya ke kiblat, tapi Hajjaj menyuruh para pengawal untuk memutar wajahnya sehingga membelakangi kiblat. Kendati demikian, ia masih membaca ayat, “…. kemana saja kamu menghadap, di situlah wajah Allah….: (QS Al-Baqarah 115). Hati Hajjaj semakin sakit karena siksaan batin yang dideritanya. Lalu ia memerintahkan , “Tekankan mukanya ke tanah!” Mendengar itu , Sa’id kembali membaca ayat, “Darinya (tanah) Kami menciptakan kalian, dan padanya Kami mengembalikan kalian, dan daripadanya (pula) Kami mengeluarkan (membangkitkan) kamu sekalian.” (QS Toha 55)
Hajjaj bertambah kalap, lalu berseru, “Cepat potong lehernya!” Seketika lehernya ditekan kuat-kuat, ia berdoa, “Ya Allah, saya menjadi manusia terakhir yang dianiaya Hajjaj. Setelah hari ini janganlah Engkau beri kesempatan baginya untuk berbuat aniaya seperti ini kepada hamba-hamba-Mu yang lain. Asyhadu allaa ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah.” Pedang itu pun dengan cepat memotong lehernya. Berpisahlah kepala orang salih sesudah 49 tahun lamanya membawa jiwa yang besar. Semua yang hadir sempat tercengang karena menyaksikan kepala Sa’id terpisah dari badannya namun masih sempat menyebut Asma Allah dengan senyuman yang mengejek dunia.
Beberapa hari kemudian Hajjaj semakin tersiksa batinnya hingga mengalami gila, tak berapa lama kemudian ia mati.