Rumaisha binti Milhan

Sinar Islam berhasil menembus relung hati Rumaisha binti Milhan, menguliti jelaga-jelaga kebodohan yang telah bertahun-tahun membungkus hidupnya. Inilah kebenaran yang hakiki. Apa lagi yang harus ditunggu? Demikianlah wanita Anshor itu telah mantap menerima islam dengan segenap jiwa dan raganya. Ia kabarkan keislamannya pada suaminya Malik bin An-Nadhr dengan penuh suka cita. ‘Suamiku, tidakkah engkau ingin mengikuti jejak langkahku menuju jalan kebenaran ini?’.

Ajakan mulia wanita itu ternyata tidak disambut ceria sang suami. Bahkan Malik bin An-Nadhr marah dan menjerit di dekat telinga Rumaisha. ‘Apakah kau sudah campakkan agama nenek moyang kita?’ Begitu berangnya Malik mendengar istrinya masuk Islam.

Namun, istri Malik yang sebih dikenal dengan panggilan Ummu Sulaim itu menjawab dengan tenang dan bijak, ‘Sesungguhnya aku telah menyerahkan wajahku kepada Allah, Robb semesta alam ini.’ Ia telah begitu yakin dengan keimanannya yang baru. Lalu kepada Anas bin Malik putranya, Ummu Sulaim menoleh. Mengajarkan anak kecil yang telah pandai bicara itu untuk mengucapkan dua kalimat syahdat.

‘Katakan Asyhadu an laa ilaaha illa Allah!’, kata Ummu Sulaim kepada anaknya. Dan anak itu cepat menyambut seruan sang Ummi. ‘Asyhadu an laa ilaaha illa Allah!’

Kemudian Ummu Sulaim mengajarkannya mengucapkan kalimat yang kedua. ‘Katakanlah sekali lagi Asyhadu anna Muhammad Rasulullah… !’ Dan dengan cerdas anak itu pun mengikuti ucapan sang Ummi. Dengan demikian resmilah dua anak-beranak itu masuk ke pangkuan Islam semenjak itu. Peristiwa besar itu persis berlangsung di depan suami Ummu Sulaim.

Karuan, Malik tambah menjadi-jadi kemarahannya. ‘Kau telah merusak kepercayaan anakku … !’. Namun dengan tangkas dan tegas Ummu Sulaim langsung menjawab, ‘Aku tidak merusak kepercayaannya, bahkan aku memimpinnya ke jalan yang lurus. Aku berharap kelak ia tumbuh dan besar dalam bimbingan hidayah dan iman!’

Malik An-Nadhr merasa terpojok dengan jawaban yang istri yang tegas dan mantap itu. Sejak itupun rumah tangga Ummu Sulaim sering diwarnai keributan mulut. Namun selalu saja pertengkaran itu malah makin memojokkan Malik An-Nadhr, karena Ummu Sulaim begitu mantap hujah-hujahnya. Maka Malik akhirnya pergi meninggalkan Ummu Sulaim ke Syam, sampai suaminya itu mati di sana. Hingga akhirnya kematian suaminya itu sampai ke telinga Ummu Sulaim. Wanita itu telah berjanji untuk tidak ingin menikah lagi kecuali jika diizinkan anaknya Anas bin Malik.

Kabar Ummu Sulaim yang telah menjanda itu, telah memunculkan hasrat seorang lelaki kaya bernama Abu Tholhah untuk meminangnya. Lelaki Madinah itu terkenal memiliki sifat kesatria, dermawan dan berstatus tinggi di antara kaumnya. Tapi Abu Tholhah kala itu masih musyrik.

Ketika tiba di rumah Ummu Sulaim, Abu Tholhah meminta izin masuk. Ummu Sulaim mengizinkannya. Berlangsunglah pertemuan itu yang dihadiri pula oleh Anas bin Malik, putra Ummu Sulaim. Abu Tholhah berterus terang tentang maksud kedatangannya. ‘Maukah engkau menjadi istriku?’, katanya. Apa yang dinanti? Ternyata jawaban Ummu Sulaim tak seperti yang diharapkan kesatria Madinah itu. ‘Sesungguhnya pria seperti anda, hai Abu Tholhah tak pantas saya tolak lamarannya. Tetapi aku tak akan kawin dengan anda, karena anda kafir…!’ ‘Apakah yang kuning atau yang putih? Emas atau perak?’, kata pria itu penasaran. Dengan suara lantang Ummu Sulaim kembali menjawab, ‘Kusaksikan kepada anda, hai Abu Tholhah, kusaksikan kepada Allah dan Rasul Nya, sesungguhyna jika engkau Islam, aku rela engkau menjadi suamiku tanpa emas dan perak. Cukuplah Islam itu menjadi mahar bagiku!’

Sepanjang usianya, Abu Tholhah baru melihat wanita Madinah dengan pandangan hidup ‘aneh’, namun tegar ini. Siapa pun tahu siapa Abu Tholhah. Seorang terpandang, kaya, dermawan lagi bersifat kesatria. Ia yakin wanita Madinah mana yang tidak luluh hatinya melihat modal yang dimilikinya itu. Tapi ia kini berhadapan dengan seorang wanita yang sama sekali tidak silau dengan kemuliaan yang dimilikinya. Amboi, keyakinan apa yang kini dimiliki wanita ini? Abu Tholhah makin penasaran. Langsung saja ia minta penjelasan tentang keyakinan ‘baru’ Ummu Sulaim.

Maka Ummu Sulaim menjelaskan beberapa prinsip Islam, yang menyebabkan Abu Tholhah makin terterik untuk memeluk Islam. Akhirnya pria Madinah terpandang itu bertanya, ‘Siapakah yang harus mengislamkan aku?’ ,’Aku bisa’, jawab Ummu Sulaim. Wanita itu segera memerintahkan Abu Tholhah mengikrarkan dua kalimat syahaat. ‘Katakan, tiada ilah selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah. Setelah itu anda pulang ke rumah, hancurkan seluruh berhala sembahanmu itu, lalu buang!’

Setelah berikrar, barulah Ummu Sulaim menepati janjinya menerima pinangan itu. Kepada anaknya Anas bin Malik, ia pun tetap memegang janjinya, untuk meminta perkenannya, apakah ia boleh menikah lagi. Anas menyetujui ibunya dilamar Abu Tholhah, maka segera berlangsung pernikahan itu.

Mendengar kabar Ummu Sulaim menikah dengan Abu Tholhah dengan mahar ‘Abu Tholhah masuk Islam’, kaum muslimin berkata, ‘Belum pernah kami mendengar mahar nikah yang lebih mahal dari mahar Ummu Sulaim. Maharnya ialah Islam.’

Islam telah menghunjam kokoh di dalam hati wanita itu. Ini hanya dimungkinkan lantaran Ummu Sulaim memiliki kebersihan hari, kemantapan jiwa, tanpa sedikitpun ragu akan kebenaran risalah suci itu. Seluruh pemikiran, tradisi, perasaan dan pandangan jahiliyah ia tinggalkan sama sekali. Lalu jiwa itu diisinya dengan Islam. Dari jiwa fitrah inilah muncul semangat, perasaan, selera, cita-cita serta tujuan hidup yang semuanya sekali berwawasan Islam. Hal ini dibuktikannya, ketika ia berusaha keras mengajak suami pertamanya untuk masuk Islam. Semua itu hanya makin menguatkan bukti, Ummu Sulaim sangat ingin rumah tangganya berdiri di atas kerangka nilai Islam secara total. Tak perduli apa pun yang terjadi, ia lebih mencintai Islam dari apa pun. Hanya Anas, putranya yang masih kecil itu, berhasil ia selamatkan. Di dalam genggaman pendidikannya, putra sahabiyah mulia itupun, Anas bin Malik akhirnya menjadi salah seorang perawi hadits yang terkenal.

Dengan cerdik Ummu Sulaim berhasil menyelamatkan Abu Tholhah, seorang tokoh Yatsrib, lewat pernikahan bersyarat itu. Sejarah mencatat, kedua suami istri mulia ini aktif dan gigih dalam kancah dakwah dan jihad sampai akhir hayatnya. Keduanya adalah orang yang termasuk berbaiat di Aqobah untuk memperjuangkan Islam. Rasulullaah saw bahkan menunjuk Abu Tholhah menjadi salah seorang dari 12 naqib (kepala regu) dalam membebaskan Madinah.

Berbicara tentang sejarah dakwah Islam, orang pasti akan tidak melewati sepak terjang serta keutamaan sahabiyah mulia itu. Ummu Sulaim dikenal pula sebagai perawi hadits. Baliau telah meriwayatkan 14 hadits berasal langsung dari Rasulullaah saw. Di antaranya terdapat dalam kitab shahih Bukhari-Muslim. Wanita mulia itu pun beberapa kali ikut bersama Rasulullaah saw dalam perang-perang besar seperti Badar, Uhud dan Hunain. Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat Nya atas beliau.

(Diangkat dari Ummi 2/V/1993)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *