Abbad bin Bisyr, ahli ibadah yang gagah berani

Sabili No.19 Th.IX

Abbad bin Bisyr, adalah seorang sahabat yang tidak asing lagi dalam sejarah dakwah islamiyah. Ia tidak hanya termasuk di antara para ‘abid (ahli ibadah), bertakwa, dan menegakkan shalat setiap malam dengan membaca beberapa juz Al Quran, tapi juga tergolong di kalangan para pahlawan, yang gagah berani, dalam menegakkan kalimat Allah. Tidak hanya itu, ia juga seorang penguasa yang cakap, berbobot, dan dipercaya dalam urusan harta kekayaan kaum muslimin.

Ketika Islam mulai tersiar di Madinah, Abbad bin Hisyr Al Asyhaly masih muda. Kulitnya yang bagus dan wajahnya yang rupawan memantulkan cahaya kesucian. Dalam kegiatan sehari-hari dia memperlihatkan tingkah laku yang baik, bersikap seperti orang-orang yang sudah dewasa, kendati usianya belum mencapai dua puluh lima tahun.

Dia mendekatkan diri kepada seorang dai dari Mekah yaitu Mush’ab bin Umair. Dalam tempo singkat hati keduanya terikat dalam ikatan iman yang kokoh. Abbad mulai belajar membaca Al-Quran kepada Mushab. Suaranya merdu, menyejukkan dan menawan hati. Begitu senangnya membaca kalamullah, sehingga menjadi kegiatan utama baginya. Diulang-ulangnya siang dan malam, bahkan dijadikannya suatu kewajiban. Karena itu dia terkenal di kalangan para sahabat sebagai imam dan pembaca Al-Quran.

Pada suatu malam Rasulullah SAW sedang melaksanakan shalat tahajud di rumah Aisyah yang berdempetan dengan Masjid. Terdengar oleh beliau suara Abbad bin Bisyr membaca Quran dengan suara yang merdu, laksana suara Jibril ketika menurunkan wahyu ke dalam hatinya.

“Ya Aisyah, suara Abbad bin Bisyrkah itu?” tanya Rasulullah.

“Betul, ya Rasulullah!” jawab Aisyah.

Rasulullah berdoa, “Ya Allah, ampunilah dia!”

Abbad bin Bisyr turut berperang bersama-sama Rasulullah SAW dalam setiap peperangan yang beliau pimpin. Dalam peperangan-peperangan itu dia bertugas sebagai pembawa Alquran. Ketika Rasulullah kembali dari peperangan Dzatur Riqa’, beliau beristirahat dengan seluruh pasukan muslim di lereng sebuah bukit.

Seorang prajurit muslim menawan seorang wanita musyrik yang ditinggal pergi oleh suaminya. Ketika suaminya datang kembali, didapatinya istrinya sudah tiada. Dia bersumpah dengan Lata dan ‘Uzza akan menyusul Rasulullah dan pasukan kaum muslimin, dan tidak akan kembali kecuali setelah menumpahkan darah mereka.

Setibanya di tempat perhentian di atas bukit, Rasulullah bertanya kepada mereka, “Siapa yang bertugas berjaga malam ini?” Abbad bin Bisyr dan Amar bin Yasir berdiri, “Kami, ya Rasulullah!” kata keduanya serentak. Rasulullah telah menjadikan keduanya bersaudara ketika kaum Muhajirin baru tiba di Madinah.

Ketika keduanya keluar ke mulut jalan (pos penjagaan), Abbad bertanya kepada Ammar, “Siapa di antara kita yang berjaga lebih dahulu?”

“Saya yang tidur lebih dulu!” jawab Amar yang bersiap-siap untuk berbaring tidak jauh dari tempat penjagaan.

Suasana malam itu tenang, sunyi dan nyaman. Bintang gemintang, pohon-pohon dan batu-batuan, seakan sedang bertasbih memuji kebesaran Allah. Hati Abbad tergiur hendak turut melakukan ibadah. Dalam sekejap ia pun larut dalam manisnya ayat-ayat Al Quran yang dibacanya dalam sholat. Nikmat shalat dan tilawah (bacaan Al Quran) berpadu menjadi satu dalam jiwanya.

Dalam sholat dibacanya surat Al Kahfi dengan suara memilukan, merdu bagi siapa pun yang mendengarnya. Ketika dia sedang bertasbih dalam cahaya ilahi yang meningkat tinggi, tenggelam dalam kelap-kelip pancarannya, seorang laki-laki datang memacu langkah tergesa-gesa. Ketika dilihatnya dari kejauhan seorang hamba Allah sedang beribadat di mulut jalan, dia maklum Rasulullah dan para sahabat pasti berada di sana. Sedangkan orang yang sedang shalat itu adalah pengawal yang bertugas jaga. Orang itu segera menyiapkan panah dan memanah Abbad tepat mengenainya. Abbad mencabut panah yang bersarang di tubuhnya sambil meneruskan bacaan dan tenggelam dalam sholat. Orang itu memanah lagi dan mengenai Abbad dengan jitu. Abbad mencabut pula anak panah kedua ini dari tubuhnya seperti yang pertama. Kemudian orang itu memanah lagi. Abbad mencabutnya pula seperti dua buah panah yang terdahulu.

Giliran jaga bagi Amar bin Yasir pun tiba. Abbad merangkak ke dekat saudaranya itu, lalu membangunkannya seraya berkata, “Bangun! Aku terluka parah dan lemas!” Sementara itu, ketika melihat mereka berdua, si pemanah buru-buru melarikan diri. Amar menoleh kepada Abbad. Dilihatnya darah mengucur dari tiga buah lubang luka di tubuh Abbad. “Subhanallah! Mengapa engkau tidak membangunkan ketika panah pertama mengenaimu?” tanyanya keheranan.

“Aku sedang membaca Al Quran dalam shalat. Aku tidak ingin memutuskan bacaanku sebelum selesai. Demi Allah, kalaulah tidak karena takut akan menyia-nyiakan tugas yang dibebankan Rasulullah, menjaga mulut jalan tempat kaum muslimin berkemah, biarlah tubuhku putus daripada memutuskan bacaan dalam shalat,” jawab Abbad.

Ketika perang memberantas orang-orang murtad berkecamuk di masa Abu Bakar ra, khalifah menyiapkan pasukan besar untuk menindas kakacauan yang ditimbulkan Musailamah Al Kadzdzab. Abbad bin Bisyr termasuk pelopor dalam ketentaraan tersebut. Setelah diperhatikannya celah-celah pertempuran, Abbad berpendapat kaum muslimin tidak mungkin menang karena kaum Muhajirin kaum Anshar saling menyerahkan urusan satu sama lain. Bahkan mereka saling membenci dan saling mencela. Abbad yakin kaum muslimin tidak akan menang dalam pertempuran dengan pasukan yang tidak kompak itu. Kecuali bila kaum Anshar dan Muhajirin membentuk pasukannya masing-masing dengan tanggung jawab sendiri-sendiri. Dengan begitu dapat diketahui dengan jelas mana pejuang yang sungguh-sungguh.

Sebelum pertempuran yang menentukan itu dimulai. Abbad bermimpi dalam tidurnya seolah-olah dia melihat langit terbuka. Setelah dia memasukinya, dia langsung menggabungkan diri ke dalam dan mengunci pintu. Ketika subuh tiba, Abbad menceritakan mimpinya itu kepada Abu Said Al Khudri, “Demi Allah itu seperti benar-benar kejadian, hai Abu Said!”

Ketika perang mulai berlangsung, Abbad naik ke suatu bukit kecil seraya berteriak, “Hai kaum Anshar, berpisahlah kalian dari tentara yang banyak itu! Pecahkan sarung pedang kalian! Jangan tinggalkan Islam terhina atau tenggelam, niscaya bencana akan menimpa kalian.”

Abbad mengulang-ulang seruannya sehingga sekitar empat ratus prajurit berkumpul di sekelilingnya. Di antara mereka terdapat perwira seperti Tsabit bin Qais, Al Barra bin Malik, dan Abu Dujanah, pemegang pedang Rasulullah SAW.

Abbad dan pasukannya menyerbu memecah pasukan musuh dan menyebar maut dengan pedangnya. Kemunculannya menyebabkan pasukan Musailamah Al Kadzdzab terdesak mundur dan melarikan diri ke Kebun Maut.

Di sana dekat pagar tembok Kebun Maut, Abbad gugur sebagai syahid. Tubuhnya penuh dengan luka bekas pukulan pedang, tusukan lembing, panah yang menancap. Para sahabat hampir tak mengenalinya, kecuali setelah melihat beberapa tanda di bagian tubuhnya yang lain. Semoga Allah memberikan pahala kepadanya dengan surga firdaus seperti para syuhada’ lainnya. Amin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *